Aku berlari dengan kecepatan penuh, berusaha mengejar waktu yang akan membuatku terlambat masuk ke dalam sekolah. Pagi ini, aku kesiangan, karena harus merapikan semua kekacauan di rumah. Hal itu menghabiskan banyak waktu hingga aku tertidur habis Subuh. Aku menghela napas berat saat melihat gerbang sudah ditutup—dari kejauhan. Terlambat sudah. Aku pasti akan dihukum.
Tin! Tin! Tin! Kakiku berhenti melangkah saat sebuah mobil hitam yang mewah berhenti di dekatku. Kaca jendelanya terbuka dan menampilkan satu sosok di dalam sana.
"Ayo masuk!" seru Pak Ilham. Aku melongo. Tidak salah dengar, kan? Beliau memintaku masuk? Berikutnya Pak Ilham keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. "Ayo masuk!" serunya lagi.
Dengan linglung aku masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil hanya ada aku dan Pak Ilha. Aku kira akan ada Yusuf di sini. Ternyata mereka tidak berangkat bersama. Kemudian, mobil ini melaju memasuki gerbang sekolah dengan begitu mudahnya. Bukankah ini tidak adil? Guru terlambat diperbolehkan masuk, sedangkan murid? Memang boleh masuk, sih. Tapi, harus dihukum dulu, kenapa guru tidak?
Di depan sana aku melihat beberapa siswa-siswi yang terlambat sedang berkumpul di depan gerbang. Sudah sangat jelas kalau mereka akan dihukum. Aku jadi merasa bersalah, seharusnya aku bergabung juga dengan mereka. Setelah mobil ini terparkir, aku membuka pintu mobil dan keluar yang diikuti Pak Ilham.
"Terimakasih, Pak, sudah bantu Bila."
"Sama-sama."
"Tapi, kenapa Bapak bantu Bila? Kenapa gak membiarkan Bila biar dihukum sama seperti murid lainnya?" tanyaku penasaran. Beliau kan guru, seharusnya ia menegurku karena datang terlambat, lah ini malah dibantu.
“Gak apa-apa. Istirahat nanti ke meja saya, ya?”
*****
"Assalamu'alaikum!" salamku saat sudah sampai di ruang guru. Di dalam sana benar-benar sepi, hanya ada Pak Ilham yang sedang duduk di mejanya.
Beliau tersenyum lalu menjawab salamku. "Wa'alaikumussalam!"
Aku berjalan menghampiri Pak Ilham dan menyaliminya dengan menangkupkan kedua tanganku di depan dada.
"Silahkan duduk dulu," ucap Pak Ilham untuk mempersilahkanku duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya. Aku menurut saja. Entah kenapa aku jadi canggung begini. Mungkin karena ruang guru sedang senggang saat ini.
"Maaf, ya, saya belum memberi hadiah untuk kuis tempo lalu," ucap Pak Ilham memberi tahu maksudnya memanggilku ke ruang guru.
"Gak apa-apa, Pak. Lagian kan Bapak lagi sibuk, hehe."
"Saya gak tau apa yang Bila suka, makanya belum disiapin."
"Hah?" Aku terdiam, menatap Pak Ilham penuh tanya. Aku tidak salah dengar bukan? Pak Ilham akan memberikan hadiah yang aku suka? Tapi, kenapa repot-repot begitu? Padahal dikasih apapun aku pasti akan suka. Sebenarnya aku ingin sekali hadiahnya pelunasan SPPku yang menunggak. Tapi, kan malu. Nanti dikira matre gimana? Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
"Eh? anu ... maksud saya itu ... saya ingin kasih hadiah yang Bila butuhkan atau yang Bila suka, jadi kepake dan gak sia-sia." Benar juga, kalau hadiahnya tak terpakai kan sayang. "Saya cuma mau kasih yang Bila mau, kalau gitu Bila mau apa?"
Aku ingin tunggakan SPPku lunas, Pak! "Hehe ... Bila sih apa aja mau kok, Pak."
"Jangan begitu dong, Bapak kan jadi bingung."
Yang bingung itu aku, Pak! Kenapa seribet ini sih kasih hadiah doang? Kukira Pak Ilham sudah menyiapkan hadiahnya saat mengadakan kuis itu, karena beliau yang bilang sendiri bahwa ia sudah menyiapkan hadiah yang menarik. Tapi, kenapa jadi aku yang memutuskan hadiahnya sendiri? Nanti bukan kejutan lagi. "Bila sih apa aja mau, Bila gak mau repotin Bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...