Langit yang sudah menggelap kini dihiasi oleh rintik-rintik hujan yang tidak terlalu deras. Aku segera memakirkan motor maticku di pekarangan rumah lalu berlari menuju pintu depan.
Malam ini, aku tidak akan mengerjakan tugas apapun. Tubuhku sudah sangat lelah dan ingin segera menemui kasur yang nyaman. Aku harap malam ini bisa beristirahat dengan aman dan nyaman. Setelah beraktivitas dan berpikir seharian membuat tubuhku seperti kehabisan baterai.
"Assala‒‒"
PRANG!
Ucapanku terhenti karena mendengar suara benda jatuh. Aku terdiam mematung. Dadaku langsung bergemuruh dan mataku mulai memanas. Bulir-bulir hangat menumpuk di pelupuk mata lalu luruh saat sudah tak tertampung lagi.
"Astaghfirullahal'azhim," lirihku. Lama kelamaan aku terisak. Entah sampai kapan aku harus merasakan hal ini. Aku benci bahkan sangat membenci sosok yang seharusnya melindungi keluarganya itu.
Aku mengusap air mataku lalu berteriak. "Assalamu'alaikum!"
Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya pintu rumah terbuka. Muncul makhluk paling mengerikan yang pernah kutemui sepanjang hidupku.
"Kok pulangnya sore banget?" Nada sok baiknya itu membuatku ingin menamparnya untuk membuatnya sadar, bahwa perlakuannya selama ini tidak pantas dengan cara bicaranya itu.
"Ya," jawabku seadanya.
Setelah menyalaminya aku langsung masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba aku memekik kesakitan saat merasakan kakiku menginjak sesuatu yang tajam. Aku melihat sebuah pecahan keramik menusuk telapak kakiku hingga mengeluarkan darah. Untung saja pecahan keramik itu tidak terlalu besar dan lukanya pun tidak terlalu dalam.
Aku menghela napas berat setelah menyadari pecahan keramik ini berasal dari piring yang ada di meja makan. Air mataku kembali keluar. Aku benar-benar membenci situasi seperti ini. Aku berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk membersihkan luka. Kemudian, pergi menuju kamar dan mengambil obat merah dan sebagainya untuk mengobati lukaku.
Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Kenapa orang itu kembali memecahkan barang dan membuatku kembali tersiksa pada kehidupan. Apa yang sudah membuat orang itu marah? Tidak bisakah dia merapikan kembali sesuatu yang sudah dirusak dan dikacaukannya? Aku benci orang itu, ayahku sendiri. Dengan tergesa, aku langsung ke kamar Mama yang ada di bawah. Aku ingin memastikan bahwa Mama baik-baik saja. Aku tidak mau beliau kenapa-kenapa. Jika sesuatu terjadi padanya, tidak akan kumaafkan orang yang telah menyakiti Mama.
Kubuka pintu kamar dan tampaklah Mama sedang meringkuk di atas kasur menahan isakannya. Melihat ibuku yang seperti itu membuat hatiku hancur sehancur-hancurnya. Dia, iblis yang menyamar menjadi ayahku itu adalah sumber masalah di sini. Dia yang membuat ibuku tersiksa seperti ini.
Aku mendekat ke arah Mama dan duduk di pinggiran kasur. Aku mengelus pelan kepalanya membuat ibuku menoleh padaku.
"Ngapain ke sini? Makan sana," titahnya dengan suara yang serak. Cukup dengan itu hatiku terasa disayat ribuan silet.
"Bila khawatir sama Mama," lirihku pelan. Bodohnya aku, kenapa malah menangis di depan Mama? Ah menyebalkan, kalau ibuku jadi sedih gimana?
"Mama gak apa-apa, kok. Sekarang Bila makan sana, nanti maagnya kambuh kalau telat makan."
Aku menggeleng. "Bila tau Mama belum makan, Bila gak mau makan sebelum Mama makan."
"Mama udah makan."
"Bohong!"
Mama hanya menatapku sendu. Bisa kulihat sorot bersalahnya. "Kenapa Bila ngomong kayak gitu? Mama udah makan kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...