"Seperti janji Bapak kemarin, yang dapat nilai kuis paling besar akan diberi hadiah."
Mataku berbinar penuh harap. Aku sudah mati-matian belajar untuk kuis Fisika minggu lalu. Meskipun ada beberapa materi yang sempat aku lewatkan dan ternyata muncul dalam soal.
Pak Ilham membagikan hasil kuis kami. Dia tidak menyebutkan nilai kuis dan hanya memanggil namanya saja. Hal itu membuatku semakin penasaran. Siapa kira-kira yang akan mendapatkan hadiah dari Pak Ilham? Tapi, yang membuatku tambah penasaran lagi bukan orang yang mendapatkan nilai tertinggi, melainkan hadiah apa yang akan diberikan Pak Ilham. Jika hadiahnya gratis SPP selama dua bulan, aku berharap akulah yang mendapatkannya.
"Bila!" panggil Pak Ilham.
Aku tersentak kaget lalu berjalan dengan cepat menuju Pak Ilham. Jantungku deg-deg’an gak karuan. Semoga saja hasilnya memuaskan.
"Lebih fokus lagi ya ketika mengerjakan soal, jangan terburu-buru dan terlalu tegang," ujar Pak Ilham sambil tersenyum manis. Aduh Pak, bisa-bisa aku diabetes dikasih senyuman semanis itu.
Pak Ilham adalah salah satu guru yang paling tampan di sekolah ini, umurnya yang terbilang muda menambah kesan daya tarik para siswi. Kalau kalian pernah melihat drama-drama Thailand yang pemeran cowoknya kebanyakan ganteng dan sedikit cute, maka Pak Ilham lah kembarannya.
Kulitnya putih bersih terawat, meskipun tidak seputih Langit. Walaupun tidak se-cute artis Thailand, tapi Pak Ilham ini terlihat lebih dewasa dan laki banget. Lihat saja dada bidang dan bahunya yang lebar itu. Proporsi badannya seperti aktor Korea Kim Woo Bin.
"Hehe. Iya Pak, terima kasih sarannya." Aku mengambil kertas itu lalu membukanya secara perlahan. Delapan koma tiga! Angka yang memuaskan bagiku. Ketika ulangan harian saja jarang sekali aku mendapat nilai delapan di mata pelajaran fisika, apalagi bahasa Inggris.
Aku tersenyum senang melihat hasilnya, lalu sejurus kemudian aku menyembunyikan senyumanku agar teman-teman yang lain tidak mengetahui nilaiku termasuk bagus atau tidak.
"Gimana? Puas sama hasilnya?"
"Banget Pak, hehe," jawabku sambil cengengesan.
"Kalau kamu lebih teliti lagi, kamu pasti bisa dapat sembilan. Kebanyakan, rumusnya cuma ada kekeliriuan sedikit saja."
Aku mengangguk paham. Detik berikutnya aku mematung di tempat, merasakan usapan lembut di puncak kepalaku. Aku mendongak, menatap Pak Ilham yang lagi-lagi tersenyum manis kepadaku. Jantungku berpacu begitu cepat melihat manik mata Pak Ilham yang terus menatapku lembut.
Semburat rona memerah di pipiku pasti sudah muncul ketika aku merasa pipiku memanas karena tersipu. Ini kali pertamaku mendapat perlakuan manis seperti ini dari seorang laki-laki. Tentu saja saat ini aku sangat gugup. Bahkan tanganku sudah berkeringat dingin.
"Eh? Maaf. Habisnya saya gemas." Pak Ilham menarik tangannya dari kepalaku dengan cepat. Bisa kulihat dari ekspresi wajahnya bahwa ia terkejut dan gugup.
"Ehm ... gak apa-apa, Pak, Bila duduk dulu." Aku membalikkan tubuhku dan berjalan menuju kursiku. Tanpa sadar aku memegangi dadaku yang sedang konser. Berkali-kali aku mengembuskan napas secara perlahan untuk mengurangi kegugupan.
"Muka lo merah tuh."
Aku mendelik tajam ke arah Langit yang berbisik tepat di telingaku dengan jarak. yang begitu dekat membuatku merinding. Ketika detak jantungku sudah mulai membaik, eh dia malah memperparah. Aku menggeser kursiku agar menjauh dari Langit.
Dekat-dekat dengan cowok ganteng memang tidak baik untuk kesehatan jantung.
Terdengar kasak-kusuk gosip lagi. Sudah pasti aku yang menjadi tokoh utama dari gosip ini. Memang ya, mulut cewek tuh hobi banget ngomongin orang.
Bisikan-bisikan kecil mereka saja masih bisa kudengar, apalagi kalau gak bisik-bisik, sudah pecah kali gendang telingaku.
Aku tahu, adegan aku dengan Pak Ilham pasti menuai kontra. Aku juga tidak tahu kenapa bisa Pak Ilham sampai mengelus puncak kepalaku lembut sambil menatapku sebegitunya.
Rasanya tidak mungkin kalau Pak Ilham menyukaiku. Aku saja tidak pernah berpikir ke arah sana. Kalaupun memang benar rasanya mustahil. Aku hanyalah gadis biasa bertubuh mungil dengan tampang pas-pas’an. Apa yang menarik dari diriku yang terlalu biasa ini?
"Ekhem! Ya sudah, Bapak akan memberitahu siapa yang mendapat nilai tertinggi."
Aku tersadar dari lamunanku karena mendengar suara Pak Ilham. Teman-teman sekelasku yang sibuk bergosip pun berhenti.
"Selamat ya untuk Bila, nanti hadiahnya bisa diambil di meja Bapak. Untuk yang lainnya belajarlah lebih giat lagi. Bila juga harus lebih lagi dari ini, ya?"
Aku mengangguk. Masih tidak percaya aku mendapatkan nilai tertinggi dalam kuis. Berarti aku sudah mengalahkan Tian yang tahun lalu ikut olimpiade fisika. Senang sih dapat hadiah. Tapi, bahan gosip tentang diriku jadi nambah lagi.
*****
Aku terus saja termenung memikirkan kejadian tadi pagi di kelas. Teman-teman sekelasku khususnya perempuan jadi bersikap dingin kepadaku. Ya, kecuali empat orang. Hanya Rahma, Zeli, Indri, dan Riani masih bersikap biasa saja kepadaku meskipun kita tidak terlalu dekat.
"Maaf ya, gara-gara aku gak bisa latihan sepulang sekolah, kamu jadi gak bisa istirahat karena harus ngajarin aku," ucapku tidak enak pada Yusuf yang berada di sampingku. Saat ini aku sedang di gazebo besama Yusuf. Kemarin dia menawarikan diri membantuku belajar untuk olimpiade fisika nanti karena sepulang sekolah aku harus ke warung nasi Padang untuk bekerja, Yusuf jadi mengorbankan waktu istirahatnya demi mengajariku. Aku merasa bersalah padanya.
"Gak apa-apa, pastinya urusan kamu jauh lebih penting makanya gak bisa ditinggalkan," sahut Yusuf sambil tersenyum manis.
Gak kuat Dedek lihat senyum Abang, bikin meleleh. Kalau di dekat Yusuf tuh bawaannya adem, tapi gugup juga. Yusuf orangnya baik banget, selalu mencoba untuk mengerti dan tidak memaksakan kehendak. Beda bangetlah pokoknya sama Langit. Udah jarang senyum, hobinya ganggu aku, nyebelin, dan suka gak jelas lagi jadi orang. Astaghfirullah! Kenapa aku malah membandingkan Langit dengan Yusuf? Tentu saja setiap orang itu berbeda-beda.
"Makasih ya sudah mau mengerti."
"Sama-sama. Ngomong-ngomong soal olimpiade, kata Bu Ai akan ada penyeleksian, jadi setiap bidang yang diwakilkan oleh dua orang saja," jelas Yusuf. Waduh! Aku ketinggalan informasi penting karena sepulang sekolah aku tidak bisa ikut kumpul dan belajar bersama.
“Seleksinya kapan?”
“Masih sekitar dua minggu lagi.”
Aku mengangguk mengerti. Waktuku tidak banyak, aku harus segera menguasai beberapa materi dan tipe soal lain. Apa aku bisa membagi waktu antara belajar dan bekerja? Semoga saja bisa. kalau aku niat dan ikhtiar, in sha Allah pasti bisa!
“Kamu bisa pinjam catatan aku kalau gak bisa hadir belajar bersama kayak kemarin.”
Aku menunduk karena bingung. Aku memang tidak bisa hadir untuk belajar bersama karena harus bekerja, tapi aku juga tidak mungkin selalu merepotkan Yusuf apalagi dengan tidak tahu dirinya harus meminjam catatan cowok itu.
“Gak apa-apa, Suf. Kamu gak perlu pinjamin catatan. Cukup tahu materinya tentang apa, aku bisa kok belajar sendiri.”
“Beneran?”
Aku mengangguk.
“Tapi, kalau ada yang belum paham bisa tanyain aku, siapa tau aku bisa bantu.”
“Iya.”
Baiklah. ayo berjuang Bila! Aku pasti bisa!
Selama beberapa hari ke depan, kegiatanku menjadi monoton. Setiap jam kosong dan istirahat kusempatkan untuk belajar dan mengerjakan soal olimpiade tahun lalu. Di tempat kerja juga, jika sedang tidak ada pelanggan atau tidak terlalu sibuk, aku bisa me‒review materi. Pokoknya, jika ada waktu senggang akan kuusahakan untuk belajar. Karena aku yakin, usaha tidak akan membohongi hasil. Tentu saja harus dibarengi dengan do’a.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...