Aku merasa bersalah melihat di tepi bibir Langit yang lebam akibat dipukul Ayah kemarin malam. Banyak siswi-siswi yang membicarakan dan mempertanyakan perihal kenapa bisa wajah Langit lebam-lebam begitu. Kalau mereka tahu penyebab Langit babak belur karena aku, pasti aku akan diamuk massa alias fansnya Langit.
Langit baru saja datang dan duduk di kursinya. Aku terus memerhatikan Langit, ada yang ingin kubicarakan padanya. Tapi aku merasa malu, bayang-bayang kejadian kemarin malam terus berputar di kepalaku seperti kaset rusak, apalagi kejadian saat Ayah meminta Langit untuk menikahiku, itu adalah kemustahilan yang tidak pernah kubayangkan. Aku masih mengingat jelas ekspresi wajah Langit kala itu, ia terlihat sangat terkejut. Haduhh! Jadi tambah malu gini kan.
Aku menoleh lagi ke arah cowok itu. Seperti biasa, yang Langit lakukan ketika tidak ada perlu yaitu menyumbat telinganya dengan earphone. Aku masih saja sering bertanya-tanya dalam hati apa yang cowok itu dengarkan? Musik seperti apa yang ia dengarkan sampai seharian begitu?
Lama aku memerhatikan Langit, akhirnya ia membuka mata dan menoleh ke arahku. Langit menatapku dengan sebelah alisnya terangkat. "Tau kok ganteng, tapi gak usah dilihatin gitu juga kali," katanya yang membuatku berpikir beberapa saat.
Di detik kemudian aku tersadar apa yang diucapkan Langit, lalu aku memalingkan wajah karena malu. Bisa-bisanya ia pede tingkat dewa begitu. Lagipula kenapa aku harus memerhatikan Langit, sih? Khawatir sih khawatir, tapi jangan begitu juga dong, Bil! Kalau Langit salah paham dan malah mengira aku menyukainya bagaimana? Itu tidak boleh terjadi.
"Kenapa, sih? Salting nih ceritanya?"
Dasar Langit! kenapa dia begitu suka menggoda dan menjahiliku, sih?
"Eng-enggak, ngaco kamu!"
"Masih pake aku-kamu ternyata."
"Memangnya kenapa? Aneh?" tanyaku. Lagian dia ini aneh sekali. Giliran aku mulai berbicara sopan malah dikomentarin. Bukannya bersyukur, setidaknya aku mulai mencoba untuk tidak berkata-Kata kasar.
"Kirain kesambet," jawabnya dengan terkekeh.
Aku hanya menghela napas mendengar jawabannya. Terserah lah dia mau merespon seperti apa. "Kamu gak apa-apa, kan? Apa lukanya masih sakit?"
Langit tiba-tiba menampilkam ekspresi aneh. "Gue aneh banget ngedenger lo pake aku-kamu, ditambah lo perhatian gini, berasa pacar." Langit menyeringai.
"Apaan sih, Lang."
"Ciee salting lagi."
"Aku nanya serius loh. Aku mau minta maaf untuk yang kemarin, dan jangan diambil hati apa yang dibilang sama Ayahku."
"Emang Ayah lo ngomong apa sama gue?"
"Kamu kan denger apa yang Ayahku bilang kemarin."
"Gue lupa."
"Yaudah kalau lupa."
"Tapi, gue pengen tau."
"Inget makanya!"
"Maunya dikasih tau sama lo."
"Idihh."
"Yaudah, apapun itu yang diomongin sama Ayah lo bakal gue masukin ke hati, kalau gue inget nanti."
Aku menatap Langit tidak percaya. Kalau mau diambil hati ucapan ayahku yang memintanya untuk menikahiku bagaimana? Ini gawat! Tapi, aku tidak berani mengatakannya pada Langit. Aduhh, jadi bingung begini. "Jangan dong!"
"Ya makanya, apa?"
Aku mengerucutkan bibirku sebal karena bingung harus bagaimana. "Ehm yang itu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...