17. Packed Meal

221 31 0
                                    

    Karena kesibukanku dengan olimpiade ini, aku jadi jarang bergabung lagi dengan teman-temanku. Semoga saja mereka tidak ikut-ikutan yang lain untuk memojokkanku. Beberapa orang masih saja mengutarakan kebenciannya padaku setelah kasus ponsel Abil, ditambah dengan sikap Pak Ilham yang terbilang terlalu lunak padaku.

    "Kenapa sih melamun aja? Gak makan?" 

    Aku sedikit tersentak dengan kehadiran Yusuf yang tiba-tiba. Dia mengambil posisi duduk di sampingku dengan jarak yang cukup jauh. "Aku gak bawa bekal," jawabku.

    "Kalau gitu mau makan bareng? Kebetulan aku bawanya terlalu banyak, cukup untuk dimakan berdua." Yusuf mengasongkan kotak bekal berwarna merah yang ukurannya lumayan besar. Aroma sedap dari kotak bekal itu tercium saat Yusuf membuka tutupnya.

    "Wah nasi goreng!" seruku dengan mata berbinar. Kelihatannya menggoda, aku jadi tidak sabar untuk mencicipi.

    "Mau?" tawar Yusuf. Aku diam saja dan menatap Yusuf sambil cengengesan. "Aku juga bawa sendok lebih, gak apa-apa kan makan berdua sama aku?" lanjutnya. 

    "Gak apa-apa, lagian aku senang kok udah dikasih makanan gini. Makasih ya!"

    Yusuf tersenyum. Dia ini tahu saja kalau aku sedang lapar. Berhubung aku tidak punya uang jajan dan tidak bawa bekal, lebih baik aku terima saja. Rezeki itu gak boleh ditolak, daripada nanti aku kelaparan. Kemudian, kami berdo'a lalu mulai makan bersama.

    "Wuahh, ini enak banget! Mama kamu jago masak, ya?" tanyaku. Sungguh, ini enak sekali dibandingkan dengan nasi goreng yang dijual di pinggir jalan. Bahkan menurutku, jauh lebih enak nasi goreng ini daripada nasi goreng buatan Mama.

    Terkadang buatan Mama suka berminyak, bukan kadang lagi sih tapi selalu. Sedangkan milik Yusuf sama sekali tidak berminyak, sudah begitu nasinya pun tidak keras, rasanya benar-benar enak.

    "Ini buatan aku sendiri, Bil." Sukses aku melongo, menatap Yusuf tidak percaya. Ternyata dia jago masak! Benar-benar calon imam idaman. Kalau gini caranya aku mau deh dinikahin sama Yusuf sekarang juga. Hehe. Bercanda.

    "Keren!" sahutku tersanjung. "Beruntung banget aku bisa makan masakan kamu yang super enak ini. Untung aja kamu masaknya kebanyakan, hehe."

    "Masaknya yang kebanyakan? Apa sengaja bawa banyak?" potong Langit cepat.

    Lihat wajah tengilnya itu, bikin emosiku langsung memuncak. Ehh tapi, tumben Langit ke perpustakaan? Kesambet apaan? "Iri aja lo!" tukasku.

    "Ngapain gue iri, toh nanti istri gue yang masakin. Emang lo bisa masak? Cewek tuh yang seharusnya jago masak untuk melayani lidah suami."

    Aku menatap tajam Langit. Dia sudah meremehkan seorang Bila! "Ya bisalah! Dikira gue anak manja yang kerjaannya malas-malasan di rumah?" Belum tahu saja dia soal masakanku. Memang sih kadang-kadang masakanku enak. Tapi, biasanya enak kok, cuma kurang mateng aja.

    "Oh ya? Kalau gitu besok lo masakin bekal buat gue, biar gue buktiin pake lidah gue sendiri kalau lo bisa masak atau enggak."   

    Oalah! Nantangin rupanya. Awas saja kalau sampai terkesima dengan masakan seorang Bila. "Oke, siapa takut!"

    "Alah! Bilang aja kali Lang kalau lo mau dimasakin sama Bila," celetuk Kania. Kania ini salah satu teman baruku, selama kegiatan belajar bersama, aku jauh lebih akrab dengan Kania meskipun berbeda bidang. Kania berada di bidang geografi, dan ia juga berada di jurusan IPS jadi nyambung. 

    Kulihat Langit hanya melengos lalu meninggalkanku dengan Yusuf. Tuh kan, omongan orang lain mana mau dia sahut. Melihat Langit mengacuhkannya, Kania memutuskan untuk pergi ke kantin sendirian.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang