13. Beautiful

215 33 0
                                    

    Aku sering kali bingung dengan tingkah Langit. Semenjak aku dijebak dan dikurung di ruang band, Langit jadi selalu mengikutiku kemana pun aku pergi, bahkan dia juga ikut saat aku pergi ke toilet. Langit akan berdiri di depan toilet untuk menungguku. Gila bukan?

    Meski dia bersikap baik padaku, tak jarang dia selalu membuatku kesal, mungkin itu yang mendominasi. Langit selalu menyebalkan dan jahil bila bersamaku. Tapi, di saat dia bersama orang lain, ia selalu menampilkan wajah yang datar dan aura yang dingin. Bahkan untuk mengeluarkan satu kata dari bibirnya pun sangat sulit. 

    Seperti saat ini; aku, Rahma, Zeli, Indri, Riani, dan Langit sedang makan siang bersama di dalam kelas. Kami terbiasa membawa bekal dari rumah, termasuk Langit. Agar kami bisa makan bersama, aku dan yang lain menyatukan beberapa meja agar lebih leluasa.

    Sebenarnya, Langit enggan untuk makan bersama kami. Tapi, aku terus memaksanya hingga akhirnya ia merasa risih dan menuruti permintaanku. Jika dia selalu saja bersikap tak acuh begitu, yang ada dia tidak akan punya teman, aku yang pecicilan dan berisik ini saja sangat susah memiliki teman, apalagi yang benar-benar teman. Tahu kan maksudnya?

    "Herdi!" panggilku. Bisa kulihat dia habis dari perpustakaan. Maklum anak LLC—salah satu ekskul untuk gerakan membaca. 

    "Apa?" tanya Herdi saat sudah berada di depanku. 

    "Makan bareng-bareng sini!" ajakku. "Biar Langit ada temen cowoknya, kasihan kalau dia laki sendiri, ntar jadi lekong gimana?" lanjutku. Yang lain terkekeh mendengar ucapanku, kecuali Langit. Ia malah menatapku tajam. 

    "Oke!" seru Herdi. 

    Setelah Herdi membawa kotak bekalnya dan duduk di sampingku, kami semua mulai makan. Banyak yang kami bicarakan di sela makan, bahkan bercanda hingga menimbulkan tawa. Hanya ada satu orang yang menyebalkan di sini. Langit sama sekali tidak membuka suaranya, ia tetap fokus pada makanan yang ia makan. Gak asyik!

    "Assalamu'alaikum! Ada yang namanya Rahma?" kata seseorang di ambang pintu kelas.

    "Ma, ada yang nyariin noh!" seru Zeli.

    "Mana?"

    "Itu ... di luar."

    Rahma segera bangkit dari duduknya dan menghampiri seorang cowok yang mencarinya. Mereka terlihat berbincang, kemudian cowok itu memberikan sebatang cokelat kepada Rahma. Setelah cowok itu pamit dan pergi, Rahma kembali ke mejanya.

    "Ciee ... Rahma! Siapa tuh?" goda Indri.

    "Gak tau, gak kenal."

    "Ya kenalanlah!" celetuk Riani yang mendapatkan pelototan dari Rahma.

    Dalam seminggu ini sudah beberapa kali Rahma mendapatkan hadiah dari cowok-cowok di sekolah. Resiko jadi cewek cantik, shalehah juga iya, jadi banyak yang suka.

    "Ma, kayaknya cokelatnya gede tuh, bolehlah bagi-bagi." Aku menaik-turunkan alisku untuk menggoda Rahma. 

    Sebenarnya, aku bukanlah penggila cokelat. Aku jauh lebih suka es krim vanilla daripada cokelat. Hanya saja aku ingin menggoda Rahma, siapa tahu dikasih beneran, kan lumayan.

    "Gak! Enak aja. Kalau mau kayak gue, makanya banyakin doi." 

    Asem emang, malah aku yang diledekin balik. "Sesat! Ngapain banyakin doi?" sungutku.

    "Ya biar dapet gratisanlah," jawab Rahma yang langsung disetujui Indri. Dua orang ini kan memang banyak cowoknya. Bukan pacar ya, tapi teman cowok.

    Ngomong-ngomong soal gratisan, kemarin aku sudah puas dibelikan es krim, minum, makanan, bahkan ongkos pulang pun aku dikasih Langit. Kalau teman cowok kita ngasih gratisan, gak harus doi kan namanya? Memangya doi itu sebenarnya apa, sih? Ah bodo amatlah. Jadi pusing aku.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang