33. The Truth

166 31 0
                                    

"Pak Ilham?" tanyaku tidak percaya.

"Maafkan saya, Bila gak apa-apa?"

Aku mengangguk tanda bahwa aku tidak apa-apa, hanya sedikit lecet. Lalu aku bangkit dan mencoba berdiri. Tapi, kakiku mendadak berdenyut sakit hingga badanku oleng dan hampir terjatuh. Ingat, hampir terjatuh bukan terjatuh.

Saat aku hampir jatuh, Pak Ilham dan Langit refleks hendak menangkap tubuhku, untungnya tidak jadi, karena aku tidak jatuh. Bahaya nanti kalau aku benar-benar jatuh dan dipeluk oleh kedua laki-laki di dekatku ini. Rasanya jantungku tidak akan sanggup bernapas nantinya.

Kami duduk di kursi yang telah disediakan. Aku membersihkan luka di telapak tanganku. Aku merasa tidak nyaman karena terus diperhatikan oleh kedua laki-laki yang berada di samping kanan dan kiriku ini. Dengan susah payah aku menelan salivaku. Mereka terlalu dekat!

"Masih sakit?"

Darahku berdesir kala mendengar suara lembut Pak Ilham yang penuh perhatian. Aku meliriknya, tak kuasa hati ini menatap matanya yang terlihat khawatir padaku, lantas langsung kualihkan pandanganku ke arah lain.

"Udah gak sakit, Pak," jawabku dengan gugup.

"Alhamdulillah! Ngomong-ngomong, kalian lagi ngapain di sini? Berdua saja?"

Aku gelagapan saat Pak Ilham bertanya demikian, aku tidak mau dia berpikiran yang aneh-aneh mengenai diriku dan Langit.

"Jalan."

"Latihan basket."

Jawabku bersamaan dengan Langit. Aku melirik ke arah cowok itu karena jawaban kami berbeda. Jalan? Bukannya tujuan awal datang ke sini itu untuk latihan basket? Dasar Langit, kalau Pak Ilham salah paham bagaimana? Nanti beliau mengira kami pacaran bagaimana?

"Yang benar yang mana?"

"Latihan basket, Pak," seruku cepat memotong ucapan Langit.

"Ohh..."

Setelah itu keheningan tercipta. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua laki-laki yang tengah mengapitku ini. Yang jelas, aku tidak nyaman berada di dekat mereka.

Aku sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk meruntuhkan kecanggungan ini. Lama-lama aku tersiksa. Kalau saja mereka dapat mendengar degupan jantungku saat ini, sudah kupastikan mereka akan cepat menyingkir dariku. Rasanya seperti habis lari maraton. Hanya dengan duduk di dekat mereka saja dapat membuat jantungku berdebar-debar tidak karuan.

Suara adzan Zhuhur menginstruksi kami. Tanpa sadar aku mendesah lega. Raut wajahku mengatakan 'akhirnya aku bebas dari penjara ini!'. "Yes! Udah Zhuhur!" Aku berseru senang.

Pak Ilham dan Langit kompak tertawa pelan. Kenapa ya mereka? Aku yang berada di tengah keduanya jadi merasa bingung. Apakah ada sesuatu hal yang lucu dan aku melewatkannya?

*****

Selepas shalat Zhuhur, pamitan kepada Pak Ilham, dan mengembalikkan sepeda, Langit membawaku ke tempat makan yang kuyakin semua makanannya pasti mahal.

"Lang, uang aku gak cukup buat makan di sini, mending kita makan di warung nasi padang aja," desisku. Langit tidak menggubris ucapanku dan malah sibuk memilih menu makanan. Setelah memesan makanan yang jumlahnya tidak sedikit itu, Langit menarik paksa lengan bajuku untuk duduk di meja yang kosong.

"Aku gak mau makan di sini, uangnya gak cukup," ucapku meyakinkan Langit.

"Gue bayarin," jawabnya kelewat santai.

"Aku bukan cewek matre yang bisanya habisin uang orang lain, Lang."

"Toh ini kemauan gue sendiri, kan?"

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang