34. Heaven's Friend

168 23 0
                                    

    Seminggu setelah diskors, akhirnya aku kembali ke sekolah. Hari senin ini seperti biasa upacara bendera dilangsungkan. Karena tinggiku minimalis, jadi aku berdiri di barisan paling depan. Amanat pembina upacara rasanya tidak mau berhenti, aku sampai tidak peduli beliau ngomong apa karena kepanasan. 

    Aku menajamkan pendengaranku kala pembina upacara mengatakan bahwa sekolah berhasil dalam olimpiade sains tingkat kabupaten tempo lalu. Benarkah? Bidang apa yang berhasil menjadi juara? 

    Aku yang tadinya tidak peduli dengan amanat pembina upacara kini menjadi super fokus. Aku berharap bidang fisika salah satunya. Aku ingin membuktikan kepada orang-orang yang meremehkanku menyesal sudah mengataiku begini begitu.

    Bidang matematika mendapat juara ketiga, disusul dengan kimia juara ketiga, lalu geografi juga juara ketiga. Aku deg-deg’an tidak karuan saat pembina bilang ada satu lagi bidang. Aku merapalkan do’a dalam hati berharap bahwa bidang fisika salah satunya.

    “Selamat untuk yang ikut di bidang fisika berhasil mendapat juara kedua.”

    Aku bergeming. Terkejut bukan main. Aku dan Yusuf berhasil! Aku sungguh tidak percaya, dan tidak menyangka. Semua nama-nama yang berhasil menang dipanggil ke depan dan mendapat penghargaan, lalu foto bersama ibu kepala sekolah. akhirnya aku bisa membanggakan orang tuaku dan sekolah.

    Setelah upacara selesai dan kembali ke kelas, aku mengecek jawaban tugas kimiaku, siapa tahu ada yang belum keisi atau aku salah menjawabnya. 

    "Assalamu'alaikum!"

    Refleks aku mendongak dan mendapati Rahma sedang berjalan menuju kursinya. Aku tersenyum untuk menyapa gadis itu. "Wa'alaikumussalam!"

    Rahma duduk di kursinya, lantas aku langsung berbalik dan menatap cewek itu. Aku ingin menanyakan ada tugas apalagi selain kimia untuk hari ini.

    "Ma, har—"

    Senyumku langsung luntur kala melihat Rahma mengacuhkanku. Tanpa melihat ke arahku, ia langsung pergi dan menghampiri Riani yang duduk di belakang. Ada rasa sesak di hatiku. Apakah Rahma sudah terpengaruhi gosip itu? padahalkan sudah terbukti aku tidak menggoda Pak Ilham agar bisa lolos seleksi olimpiade, buktinya aku mendapat juara kedua.

    Aku kembali berbalik ke depan. Kepalaku menunduk sedih, kalau mereka semua menjauhiku bagaimana? Apakah aku tidak akan punya seorang teman pun di sekolah ini? Terdengar suara Indri dan Zeli dari pintu. Kelihatannya mereka baru saja dari koperasi. Aku tersenyum untuk menyapa mereka, siapa tahu mereka tidak percaya dengan gosip itu.

    "Halo Indri! Zeli!"

    Tanpa merespon ucapanku, keduanya kompak ke kursi belakang. Berkumpul bersama Rahma dan Riani. Lagi-lagi aku merasakan sesak di dada. Sakit rasanya melihat teman yang dulu selalu membelaku, kini menjauh bahkan tak menganggapku ada.

*****

    Sekarang aku disibukkan dengan pelajaran dan tugas-tugas yang telah terlewatkan. Membuatku dan Langit bekerja sama untuk mengejar ketertinggalan. Di setiap jam istirahat, fokus pada tugas-tugas sekolah dan ulangan harian yang tertinggal.

    Sehabis shalat Zhuhur, aku dan Langit mengunjungi perpustakaan, mengerjakan tugas di sana. Tanpa aku sadari, bahwa hal itu menimbulkan masalah lagi. Banyak gosip yang mengatakan bahwa aku telah menggoda Langit dengan memberikan tubuhku. Karena dilihat dari mana pun, Langit bahkan semua laki-laki di sekolah ini atau bahkan di dunia ini tidak mungkin tertarik pada gadis yang super biasa saja seperti diriku.

    Mereka pasti bertanya-tanya. Dari mananya yang membuat Langit betah berteman denganku? Karena banyak sekali gadis cantik di sekolah ditolak mentah-mentah oleh Langit. Jadilah gosip itu menyebar kemana-mana bahkan sampai ke media sosial. Alangkah sok taunya netizen yang bisanya mengomentari hidup orang lain.

    Kenapa orang-orang tidak mau bertabayyun terlebih dahulu? Padahal sudah jelas dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 6 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu.” (Q.S Al-Hujurat: 49: 6). Setiap hari, aku harus menguatkan hati dan telinga karena mendengar sindiran-sindiran untukku. 

    Pulang sekolah hari ini aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke masjid sekolah untuk mentoring mingguan bersama Kak Nur dan teman-teman yang lainnya. Aku memikirkan bagaimana nanti saat Rahma dan Zeli ikut mentoring? Apa mereka akan menyapaku atau malah mengacuhkanku lagi seperti tadi pagi?

    Setelah shalat Ashar, aku berkumpul bersama Ayla dan Lia yang mentoringnya bersamaan denganku. Aku menunggu kedatangan Rahma dan Zeli, tapi keduanya tidak kunjung datang. Sedangkan Kak Nur masih ada urusan dengan pementor lain, jadi kami masih menunggu.

    "Zeli sama Rahma mau mentoring gak hari ini?" tanyaku pada Ayla dan juga Lia.

    "Enggak, mereka berdua bilang mau keluar dari mentoring kalau masih ada kamu di mentoring ini," jawab Ayla membuat dadaku berdenyut sakit.

    "Ke—kenapa?"

    "Gara-gara gosip itu." Dengan sekuat tenaga, aku menahan mataku agar tidak mengeluarkan bulir-bulir kristal bening.

    "Boleh kita tanya sesuatu?" izin Lia. Aku mengangguk. "Gosip itu benar atau bohong?"

    Setelah menghela napas panjang, aku menceritakan semuanya dari awal sampai akhir pada Lia dan juga Ayla. Terserah mereka mau percaya atau tidak, yang penting aku sudah berkata jujur dan sesuai fakta yang kutahu.

    Ayla mengelus lembut punggungku membuatku menatapnya. "Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini semuanya sudah diatur sama Allah. Kamu harus sabar, di balik kejadian ini pasti ada hikmahnya. Siapa tau, Allah sedang menguji kamu, dan ingin menaikkan derajatmu," pesan Ayla.

    Aku tersenyum mendengarnya. Lalu mataku beralih pada Lia yang kini mendekat padaku. "Mungkin, ini juga pengingat bagi kamu. Beberapa kali aku lihat kamu terlalu dekat berinteraksi dengan Langit, mungkin dengan ini Allah mengutarakan kecemburuannya, bahwa Ia ingin melihat kamu selalu mengingat-Nya," sahut Lia. Aku mengangguk setuju. Sepertinya, aku memang tidak membatasi diri dalam bergaul dengan laki-laki.

    "Kayaknya, aku gak bisa membatasi diri dalam pergaulan dengan laki-laki. Aku sering kali berdua sama Langit, ketemu sama Pak Ilham dan mengobrol. Tanpa sadar aku gak menjaga pandanganku, bahkan sering kali aku selalu deket-deket sama mereka." 

    "Mungkin kamu kekurangan teman perempuan? Jadi kamu lebih sering bergaul dengan laki-laki."

    "Sejujurnya, teman-teman sekelas udah ngejauhin aku gara-gara gosip itu. Dan Langit satu-satunya di kelas yang masih mau jadi temanku. Dia juga sering tolongin aku. Karena aku udah kebiasaan deket Langit, rasanya jadi aneh kalau aku gak ketemu sama dia."

    Ayla dan Lia terlihat sedang berpikir. Kemudian, Lia menggenggam tanganku dengan lembut dan mengusapnya. "Tidak salah kok berteman dengan lawan jenis, tapi kita harus tau batasan. Pertama jangan sering memandangnya, takut muncul ketertarikan dan malah menjadi zina mata. Kedua, jangan berdekatan, takutnya ada fitnah yang tidak-tidak dan kembali takutnya muncul ketertarikan hingga tanpa sadar kalau saling bersentuhan kita merasa biasa saja. Ketiga, jangan sampai berkhalwat. 

    Setahu aku berkhalwat itu ada tiga jenisnya, yang pertama tidak berinteraksi berdua tapi seruangan, contohnya di angkot. Kedua, berinteraksi berdua tapi gak seruangan, misal chat'an. Ketiga, berinteraksi berdua saja dan seruangan."

    Wah kalau begitu, aku sudah sering berkhalwat dong? Astaghfirullah! Ya Allah ampuni hamba. Kukira berkhalwat itu hanya sekedar berduaan di tempat yang sepi.

    "Ternyata aku masih gak tahu batasan-batasannya. Aku kira kalau kita gak pacaran, gak sentuhan sama bukan mahram, itu udah cukup, ternyata enggak," ucapku lesu.

    Ayla tersenyum. "Semua orang kan perlu proses untuk bisa memahami, perlu belajar."

    "Salah satu cara mungkin dengan berteman sama perempuan, kamu bisa kok tiap istirahat ke kelas kami. Kita bisa saling berbagi dan saling mengingatkan."

    Hatiku terenyuh mendengar penuturan Lia dan Ayla. Kenapa tidak dari dulu saja aku berteman dekat dengan mereka? Padahal kita sudah sering mentoring bersama-sama. Ya Allah, terima kasih karena sudah mempertemukanku dengan Ayla dan Lia. Semoga perjalanan hijrahku bisa istiqomah untuk terus taat pada-Mu.

     

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang