Aku tidak menyangka, berita dan foto-fotoku bersama Langit dan juga Pak Ilham tersebar luas. Kini, para orang tua murid kembali datang dan memprotes untuk mengeluarkanku dari sekolah. Aku diberi skors selama seminggu, begitu pula Langit serta Pak Ilham—yang tidak bisa mengajar selama seminggu ke depan.
Jangan tanyakan bagaimana murkanya ayahku ketika ia tahu bahwa aku diskors selama seminggu. Kalian sudah pasti tahu apa yang akan Ayah lakukan, ia memarahi Mama dan mengatakan bahwa Mama tidak becus mendidikku hingga aku selalu membuat masalah di sekolah.
Tentu saja aku tidak terima dengan kata-kata yang meluncur dari bibir Ayah. Mama adalah ibu yang paling baik, mengajarkanku tentang kesabaran, mencoba membuatku untuk selalu memaafkan kesalahan orang lain mau sebesar apapun kesalahannya, mengajarkanku untuk selalu bersyukur meski dalam keadaan paling rendah sekalipun.
Tidak pernah aku melihat Mama menyalahkan Ayah kecuali malam itu. Beliau hanya pernah membelaku di depan Ayah dan mengatakan bahwa Ayah telah melakukan kesalahan. Mau sejahat apapun Ayah, nyatanya Mama tidak bisa membencinya. Mama masih mengingat betul perjuangan Ayah, karena itulah Mama tidak pernah meninggalkan Ayah, tidak pernah mencaci, membenci, bahkan memaki sekalipun.
Aku menatap Mama yang sedang membawa bak cucian dengan susah payah. Wajahnya terlihat pucat, melihat keringat bercucuran di pelipisnya membuatku tidak tega. Pasti Mama kelelahan.
"Ma?" panggilku.
Mama menoleh lalu tersenyum manis padaku. "Apa sayang?"
"Mama istirahat aja, biar Bila yang nyuci."
Mama menggeleng. "Ini kan kerjaan Mama, mending kamu belajar aja sana."
Aku mengerucutkan bibirku. "Pokoknya Bila pengen nyuci, terus lihat Mama istirahat. Kalo Mama nolak Bila marah, nih?"
Aku mengeluarkan jurus andalanku. Kalau tidak seperti ini mana mau Mama membiarkanku kerja sedangkan ia sendiri istirahat. Itulah sifat Mama, tidak pernah mau merepotkan orang lain.
"Jangan marah dong."
"Makanya Mama istirahat, biar Bila yang ngerjain semuanya. Cuma itu bisa bikin Bila senang, kok."
Mama membuka mulutnya hendak menolak permintaanku. Tapi, segera kupotong. "Gak ada penolakan."
Mama menghela napasnya. "Mama gak mau ngerepotin."
"Sama anak sendiri kok ngerepotin? Lagian Bila masih kuat dan belum capek. Muka Mama udah pucet gitu, Bila gak mau Mama sakit." Akhirnya, Mama mengiyakan permintaanku. Sekarang waktunya aku beraksi, mencuci semua baju langganan Mama dan bersih-bersih rumah.
Pekerjaan ibuku adalah buruh cuci, ia terbiasa mencuci pakaian tetangga, menyetrikanya, atau pun membersihkan rumah mereka. Segala upaya telah Mama lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup.
Aku berkutat dengan pakaian kotor yang jumlahnya tidak sedikit itu. Berjam-jam telah dilalui hingga punggungku rasanya mau patah. Setelah cucian selesai dan menjemurnya, aku kembali ke dapur, hendak memasak sarapan pagi ini.
"Bila?" panggil Mama.
Aku menoleh dan menjawab panggilannya, "Iya, Ma?"
"Ada yang nyariin tuh di depan."
Aku mengernyitkan dahiku bingung. "Siapa?"
"Cowok ganteng, udah sana samperin dulu tamunya." Cowok ganteng? Sejak kapan aku punya kenalan cowok ganteng?
Aku berjalan keluar rumah hendak melihat tamu tersebut. Ada apa ya dia datang pagi-pagi begini? Mau numpang sarapan? Pintu sudah terbuka hingga mataku menangkap seseorang yang tengah berdiri di halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...