32. Bike

171 22 0
                                    

    Setelah turun dari angkot, aku menyikut perut Langit dengan kencang sampai cowok itu mengaduh kesakitan. "Kamu udah gila, ya? Kenapa bilang aku ini istri kamu?"

    "Lo gak mau jadi istri gue?"

    "Bukan gitu, Lang. Tapi barusan kamu baru aja bohong sama orang, gak baik."

    Langit melengos. "Udah terlanjur. Lagian gue kesel sama cewek-cewek kecentilan itu. Main sembarang foto orang aja." Tidak salah kalau Langit kesal seperti ini. Tidak seharusnya ketiga perempuan itu mencuri foto Langit diam-diam. 

    Setelah Langit mengaku bahwa aku dan ia suami-istri. Ketiga perempuan itu langsung meminta maaf. Dan Langit meminta ponsel mereka untuk menghapus fotonya. Akhirnya foto Langit terhapus dan terbebas dari gangguan ketiga cewek itu. 

    Jangan tanya bagaimana hebohnya ibu-ibu itu saat tahu kami ini suami-istri. Mereka sangat terkejut sampai membicarakan aku dan Langit tanpa segan. Dari membicarakan bahwa aku dan Langit masih terlihat sangat muda, ya iyalah, orang masih SMA. Mereka juga dengan jelas mengatakan "padahal cowoknya ganteng loh, sayang dapet yang jelek". Tentu saja aku tidak terima dengan ucapan ibu-ibu itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Langit kan memang ganteng banget, gak cocok sama cewek buruk rupa seperti aku.

    "Gak usah dipikirin lagi. Ayo!" Langit menarik ujung kerudungku agar aku mau mengikuti langkah kakinya yang lebar menuju lapangan.

    Beberapa menit kami berjalan, akhirnya sampai juga di lapangan. Kami melakukan pemanasan untuk menyiapkan otot dan juga sendi-sendi.  Kemudian, Langit mulai mengajariku cara drible, nge-shoot bola, lay-up, passing, bahkan kami sampai cara man to man.

    Aku agak canggung saat melakukan permainan man to man dengan Langit. Aku takut bersentuhan dengannya. Tapi, aku salut pada Langit. Dia selalu menjaga jarak denganku dan menghargaiku dengan tidak mau menyentuhku. Aku bersyukur Langit sudah mulai terbiasa dengan diriku yang beragama islam ini, dimana budaya agama kami berbeda. Saat ini kami sedang beristirahat. Aku dan Langit duduk di tepi lapangan tepat di bawah pohon yang rindang, supaya tidak kepanasan.

    "Gue yakin, lo bakal lolos seleksi," ucap Langit tiba-tiba.

    "Aamiin!" seruku. "Makasih, ya, Lang!" Cowok itu mengangguk.

    Beberapa menit ke depan kami berdua hanya diam dalam kecanggungan, aku bingung harus bagaimana, kalau aku ajak ngobrol dia dan malah garing gimana? Tiba-tiba saja pikiranku berkecamuk soal ibunya Langit yang terlihat begitu membenci agama islam. Aku tidak tahu apa alasannya dengan jelas. Aku jadi kepo, tapi jika ditanyakan pada Langit, dia akan marah tidak, ya? Tapi aku sungguh penasaran, mungkin saja terjadi suatu kesalahpahaman sehingga membuat ibunya Langit membenci islam. 

    "Boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku meminta izin pada Langit dan ia mengangguk. "Tapi kamu jangan marah, ya?"

    "Iya bawel."

    Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. "Kalau Mama kamu tau kita ketemu diam-diam begini gimana? Aku gak mau merusak hubungan kamu sama Mama kamu, Lang."

    Langit terdiam. Ia terlihat seperti sedang berpikir. "Kita jalanin aja.”

    Aku mendesah pelan. "Memangnya kamu gak benci juga sama aku?"

    Langit menoleh dan menatapku. "Boleh gue jujur?"

    Aku mengangguk. Jantungku mulai bekerja abnormal. Dia mau jujur tentang apa?

    "Dulu ... gue benci sama lo."

    Deg! Dadaku langsung sesak mendengarnya. Langit ternyata pernah membenciku.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang