Banyak sekali pesan whatsapp yang masuk, maklum baru punya kuota. Mataku begitu fokus pada layar ponsel, ada banyak pesan dari grup olimpiade yang isinya bahas soal dan waktu belajar bersama, disusul dengan grup kelas yang ramenya luar biasa, tentu saja yang tidak ada wali kelasnya.
Memang gitu, Ahmad buat dua grup, yang satu ada wali kelasnya tentu lebih formal, dan satunya lagi tanpa wali kelas yang isinya ghibah. Tapi, semua chat itu tak mampu mengalihkan perhatianku. Pesan dari Langit nyempil di sana. Ada beberapa pesan yang Langit kirim, isinya meminta jawaban PR dan menanyakan kapan aku akan latihan basket lagi. Ya ampun! Aku lupa akan ada pertandingan basket, untungnya masih lama, jadi aku bisa fokus pada olimpiade terlebih dahulu.
Tuk! Mataku terbelalak melihat ponselku seudah tergeletak di lantai dengan mengenaskan. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Abil menatapku sinis.
“Apa lo lihat-lihat?!”
Masih pagi sudah ngajak ribut, bukannya minta maaf karena sudah membuat ponselku jatuh hingga layarnya retak parah, bahkan bagian sisinya juga. “Gue minta ganti rugi, lo udah rusakin hape gue.” Aku menunjukkan ponselku yang mati.
“Gue yang rusakin? Salah lo sendiri ngapain di tengah jalan.”
Aku memutar bola mataku jengah, ini kali kedua ia menabrakku dan aku yang selalu disalahkan. “Kalau punya mata itu pake, lari-lari di koridor tapi gak lihat gue segede ini sampe lo main tabrak aja.”
“Lo kira gue buta? Gue lihat lo kali!”
“Kalau lihat kenapa ditabrak? Lihat! Hape gue mati total dan gak bisa nyala. Pokoknya gue minta ganti rugi,” tegasku. Tuman! Dia bilang melihatku tapi masih menabrakku juga. ini orang maunya apa, sih?
“Wahh, retak gitu doang minta ganti? Dasar penipu!”
“Jangan mancing emosi gue pagi-pagi, Bil. Hape gue beneran mati total!”
“Gak peduli, tuh.”
Dengan menyebalkannya Abil menabrak bahuku kencang lalu pergi begitu saja. “Gue bakal laporin lo karena gak mau bertanggung jawab atas kesalahan lo.”
Abil dengan cepat berbalik, kembali menghampiriku dengan wajah murka. “Lo!” Telunjuknya menunjukku.
“Apa?!” tantangku.
Abil menggeram kesal, ia terlihat sangat marah. Kedua antek-anteknya yaitu Lisa dan Steffy memberitahu Abil bahwa ada Bu Ayu yang melihat aksi kami. Dan memang benar, Bu Ayu datang dan membawa kami ke ruang BK.
“Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut.”
Aku menghela napas lalu menunjukkan ponselku pada Bu Ayu. “Abil menabrak saya dan buat hape saya rusak, Bu. Gak bisa nyala sama sekali.”
Bu Ayu mengambil ponselku, mengeceknya dan mencoba menghidupkannya beberapa kali. Namun, tetap saja ponselku tetap tidak menyala. “Memang rusak parah, kayaknya gak bisa diperbaiki,” ucap Bu Ayu membuatku melengos kesal. Kalau ponsel ini rusak berarti aku tidak bisa menjual ponsel Pak Ilham. Ya Allah! Cobaan apa lagi ini. “Benar Abil kamu menabrak Bila?”
“Gak, Bu. Bila jalan sambil main hape terus nambrak saya sampai hapenya jatuh. Berarti itu bukan salah saya dong, Bu?”
Aku menatap Abil tidak percaya, dia telah berbohong. “Bohong, Bu. Tadi saya cuma berdiri di koridor. Tapi, Abil lari-lari sampai nabrak saya. Saya minta ganti rugi tapi Abil gak mau tanggung jawab.”
“Yang benar siapa di sini? Kenapa pendapatnya berbeda.
“Bila bohong, Bu. Kalau Ibu gak percaya bisa tanya Lisa sama Steffy, mereka berdua ada di tempat kejadian.”
Perasaanku tidak enak. Mau bagaimanapun aku tahu jika Steffy dan Lisa pasti akan memihal Abil. “Kok gitu? Otomatis Steffy sama Lisa pasti belain Abil, Bu. Mereka’kan sahabatan.” Aku berusaha mencoba meyakinkan Bu Ayu.
“Ibu tau sendiri, saya berada dari keluarga yang berada, kalau cuma ganti hape yang harganya cuma satu jutaan saya mampu.” Sombong!
“Sudah-sudah! Steffy, Lisa yang mana yang benar?”
“Abil benar, Bu. Lagipun kalau Abil memang jatuhin dia pasti ganti, uang segitu bukan masalah buat Abil.”
Aku tidak bisa berkutik sama sekali. Bingung dengan kedua orang itu yang malah membela Abil. Padahal mereka melihat sendiri kalau Abil yang menabrakku. Jika memang uang segitu tidak ada apa-apanya kenapa mereka harus berbohong sampai menyudutkanku seperti ini?
“Kalau kalian bisa ganti hape aku yang murah kenapa harus capek-capek bohong dan membela diri?” tanyaku dengan kesal.
“Bila,” panggil Bu Ayu.
“Saya gak bohong, Bu. Jika memang saya salah saya gak akan memperpanjang masalah. Masalahnya saya bukan orang kaya yang handphonenya rusak bisa langsung beli yang baru.”
“Tapi kan lo punya hape dua, satu lagi dikasih Pak Ilham, kan?” tanya Abil. Lihat wajah penuh kemenangan itu, ingin rasanya kucakar.
“Iya, mau aku jual buat bayar SPP yang nunggak. Kenapa? Mau beli? Toh lo punya banyak uang, kan?”
Abil diam tidak berkutik, ia seperti kena skakmat dalam permainan catur. “Gak, toh gue gak butuh hapenya. Sorry.”
“Bukannya sekalian bantu temen yang kesusahan? Enggak mau bantu, ya?”
Mampus! Aku senang melihat Abil diam dan tidak bisa melawan seperti itu. aku bahagia bisa menang telak saat ini.
“Kalau Abil gak mau ya jangan dipaksa dong. Lagian di sini kasusnya lo yang salah karena nabrak dia duluan. Jadi, Abil gak usah ganti rugi karena gak salah.”
“Heran, kenapa kalian berdua sebegitunya bela Abil padahal jelas kalau Abil yang salah?”
Bu Ayu memijat kepalanya pelan. “Sudah. Tidak usah diributkan lagi. Ibu mengambil dari suara terbanyak, jadi Abil tidak usah mengganti apapun.”
“Tapi, Bu—”
“Lebih baik kalian ke kelas sekarang. Masalah sudah selesai.”
Tidak bisa kupercaya, apa semesta sedang mempermainkanku saat ini? Mengapa kejujuran kalah dengan kebohongan? Apa karena aku adalah anak durhaka persis seperti yang ayahku bilang? Ya Allah! Apa semuanya salahku? Apa aku memang tidak bisa dimaafkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...