Gemericik air menemani Farah yang sedang berusaha menenangkan diri. Tak mudah baginya mengungkap semuanya di depan publik dan mungkin setelah ini tak akan ada lelaki yang mau dengannya dengan predikat bekas yang dia terima.
Namun, sekalipun begitu dia tak menyesal membeberkan apa yang ia anggap aib selama itu bisa membuat Yongki keluar dari bui. Persetan dengan jari orang yang menunjuknya, ia tak peduli selama ia bisa kembali bersama Yongki. Menikmati masakan kakaknya atau sekedar bertengkar seperti biasa, Farah tak keberatan.
Sebuah sapu tangan terulur di depan Farah memaksa gadis yang baru selesai mencuci wajahnya menoleh pada wanita paruh baya yang tak ingin Farah temui. Namun, tak urung dia menerima sapu tangan itu sekalipun tangannya gemetar ketika menerimanya.
"Bagaimana Wenda?" tanya Farah dia tahu dari jati bahwa ibu Farah menemani Wenda selama ini.
"Dia masih trauma dan sedang menjalani pemulihan." Farah mengangguk kemudian memberikan kembali sapu tangan ibunya.
"Terima kasih. Jangan lupa kunjungi Yongki. Permisi" Farah berusaha keras untuk segera mengakhiri percakapan ini. Ia mungkin tak akan sanggup jika harus menahannya.
"Farah," panggil ibunya dengan suara yang bergetar.
"Maaf."
Diawali dengan hembusan napas yabg cukup kasar Farah menatap ibunya. Gadis itu meneliti apa maaf yang terucap benar dari hati atau hanya pemanis untuk luka Farah.
"Dulu saya pengen banget denger kata itu dari mulut Anda. Tapi, saat ini saya sadar saya nggak butuh kata maaf Anda atau kata maaf dari siapapun. Jadi, jangan buang tenaga Anda untuk mengatakannya. Saya nggak butuh." Farah kembali ingin melangkah tapi ibunya lagi-lagi memanggilnya.
"Kamu pasti banyak menderita selama ini." Ini pertama kali Farah mendengarkan suara khawatir ibu yang mengabaikannya sejak dia keluar rumah.
"Iya. Sangat." Farah tak berniat berbohong dia sedang tak ingin pura-pura tapi dia juga tak ingin menangis. Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya pada ibunya.
"Kalo aja mama tau, mama bakal hukum dia lebih cepat." Farah tersenyum tapi bukan senyum senang, itu adalah senyum kering yang menyimpan banyak luka.
"Hukum? Dengan cara apa? Penjara? Apa gunanya? Dia cuma dikurung maksimal 12 tahun, dia masih bisa keluar seolah 12 tahun menghapus semua rasa sakit saya. Sementara saya? Semuanya udah nggak sana lagi." Dada Farah teremas ketika mengatakannya, dia sendiri tak tahu hukuman apa yang pas. Ia ingin membunuh lelaki itu, tapi HAM sialan itu mencegahnya. Kenapa manusia brengsek itu memiliki HAM juga?
"Sudahlah. Semuanya sudah sangat terlambat. Kita sudah tak saling kenal selama ini. Saya harap kita akan selamanya begitu." Kaki Farah akhirnya meninggalkan ibunya di toilet pengadilan seorang diri. Farah tak ingin berlama-lama dengan salah satu sumber lukanya. Dia takut menjadi lemah.
"Farah," Farah terlonjak kaget karena keberadaan Kun yang berdiri di depan toilet wanita. Lelaki itu pasti ingin berbicara seperti yang dikatakan Kun dalam pesannya.
"Bang Kun, maaf banget, tapi bisa kita bicara besok aja? farah capek banget." Farah tak berbohong persidangan dan juga pertemuan dengan ibunya membuatnya lelah bukan main.
"Iya. Nggak apa-apa." Kun tak bisa menolak karena wajah Farah kali ini benar-benar terlihat bisa pingsan kapanpun.
"Makasih Bang." Farah tersenyum tipis kemudian matanya mendapati Johnny yang bersandar pada tembok sambil membawa jaket dan tas Farah.
"Kamu mau pulang, biar aku anter." Farah menggeleng dia tak ingin merepotkan Kun dan lagi arah rumah Yohana dan Kuntoro berlawanan.
"Nggak. Aku pulang bareng Om Johnny."
![](https://img.wattpad.com/cover/246339413-288-k464118.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ This Girl is Little Bit Crazy
General Fiction"Saya peringatkan ya Om, saya jago taekwondo sabuk i-" "What you said? Om?" "Iya." "Don't call me Om." "Why?" "Itu buat kamu kedengeran seperti baby sugar saya."