41

735 172 39
                                    

Seumur hidup Ihsan baru kali ini dia bekerja keras bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk perempuan yang terlihat cemong karena cat tembok. Namun, anehnya dia merasa itu semua menyenangkan dibandingkan rasa lelahnya. Ia merasakan kehangatan di dalamnya, entah karena sudah lama ia tak berada di lingkungan yang hangat.

Johnny memang menyayangi Ihsan, tetapi lelaki itu tak memiliki banyak waktu untuk anak samata wayangnya. Dan sekalipun mereka menghabiskan waktu bersama, hal yang mereka lakukan hanyalah makan, belanja dan mengunjungi beberapa tempat yang bagi Ihsan membosankan. Sedangkan ibu kandung Ihsan, lelaki itu tak ingin mengingatnya. Dan kini dia dihadapkan pada sosok Farah yang mengisi kekosongannya.

"Dih kotor amat." Farah mengelap tangan Ihsan dengan tisu basah miliknya. Dalam hati Ihsan bertanya-tanya apa seperti ini ketika seorang ibu khawatir?

"Cuci tangan abis itu makan. Mbak mau masak bentar."

"Jangan masak! Kita beli aja. Ini gue abis ngecat kalo sampai kafe lo kebakaran nggak guna kita ngecat." Jati dengan frontal menolak ide Farah yang ingin memasak.

"Iya. Gue sebagai orang yang peduli pada keselamatan kita menyarankan kita beli aja." Yohana bersatu dengan Jati dalam membentuk aliansi "jangan biarkan Farah memasak".

"Mbak Farah jago masak kok. Pas di rumah dia masak buat Ihsan. Enak." Jati dan Yohana saling melirik, mereka merasa bahwa ada yang salah di sini.

"Lo yakin dia nggak beli makanan di luar terus diakuin kalo dia yang masak?" tanya Jati yang sungguh menyinggung Farah meskipun hal itu wajar karena Farah pernah pura-pura tak bisa memasak hingga membuat wajan Yongki gosong.

"Yakin. Aku liat sendiri."

"Oh. Tapi, tetep kita beli makanan di luar. Ayo Nyi Pelet kita keluar nyari makan. Biar mak setan sama anak setan yang jadi penunggu kafe." Jati meletakkan kembali kuas catnya begitupun dengan Yohana. Keduanya siap sedia untuk keluar dari kafe Yongki karena mereka butuh alasan untuk beristirahat mengingat Farah layaknya orang Belanda yang meminta masyarakat pribumi membangun jalan Anyer Panarukan.

"Oke. Gas." Mereka berdua langsung pergi bahkan sebelum mendengar penolakan dari Farah.

"Ini masih terlalu sore buat makan nggak sih?" tanya Ihsan.

"Makan itu penting nggak harus liat jam." Farah duduk di lantai diikuti oleh Ihsan yang sebenarnya juga lelah.

"Kalo Papa sama Mama kamu tau kamu ngecat pasti aku bakal dimarahin abis-abisan." Farah memulai pembicaraan takut jika ada kediaman di antara mereka.

"Mungkin Maria bakal marah, tapi bukan karena peduli sama aku. Dia cuma nggak suka Mbak Farah." Farah mengangguk, hanya orang aneh yang menyukainya dan di dunia ini hanya ada sedikit orang aneh.

"Ya, siapa yang bakal seneng sama orang yang dianggap ngerebut suami dan anaknya."

"Mereka udah cerai lama, tujuh tahun lalu pas aku masih tujuh tahun. Jadi, Mbak nggak ngerebut Papa dari dia." Farah tak tahu bahwa Johnny sudah bercerai lama, ia pikir baru beberapa tahun.

"Mbak," panggil Ihsan.

"Apa?"

"Mbak nggak penasaran kenapa mereka cerai?" tanya Ihsan dan Farah tak akan berbohong dia penasaran kenapa Johnny dan Maria bisa bercerai.

"Penasaran."

"Mau aku ceritain?"

-o0o-

Pesan singkat dari Farah yang mengatakan bahwa Ihsan masih di rumahnya membuat Johnny langsung menuju rumah gadis itu sepulang kerja. Ia sedikit merasa tak enak pada Farah, pagi tadi dia harus berakting menjadi mama Ihsan dan sekarang Farah harus menjaga Ihsan hingga malam.

✔️ This Girl is Little Bit CrazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang