Farah bisa bernapas lega setelah menyelesaikan pekerjaannya yang setumpuk hingga ia lembur. Kadang Farah ingin menjadi manusia kaya raya yang tiap hembusan napasnya menghasilkan uang bukan menghasilkan karbondioksida. Namun, apa daya dia bukan konglomerat yang membeli tanpa melihat harga. Dia masih kaum misqueen yang tak malu menawar barang dari 150 ribu menjadi 10 ribu.
Bicara tentang uang, Farah sudah tak punya saldo untuk membayar ojek online. Perkara itu tak pernah menjadi masalah untuk Farah karena dia adalah manusia yang memanfaatkan sumber daya manusia yang ada. Lagi pula orang-orang akan gabut jika tak dimanfaatkan oleh Farah.
Kini orang gabut itu sudah berada di depannya dengan wajah kesal yang begitu kental. Farah tak terlalu mengambil hati, Jati memang selalu seperti itu jika diperintah tiba-tiba.
"Jaket lo!" Farah adalah tipe manusia yang diberi hati minta ginjal. Mungkin karena harga ginjal lumayan mahal.
"Nggak mau! Gue juga dingin."
"Lo masa tega sama cewek sih? Gue anak yatim lho." Farah mencoba mengambil simpati Jati.
"Nggak usah drama lo! Pake helm terus naik gak usah banyak b-a-ba-c-o-co-t bacot."
"Lo nggak ada simpati-sinpatinya ya sama gue. Jahat lo!"
"Gue mah nggak punya simpati. Kalo nyari simpati sana ke grapari. Cepet naik!" Farah bersiap naik ke motor Scoopy merah milik si gondrong.
Dalam perjalanan mereka tak banyak bicara. Bukan karena tak ada bahan pembicaraan, tapi sistem kerja telinga mereka setara dengan Pak Bolot. Lagi pula menurut teori dua orang itu, jika mereka membuka mulut akan lebih banyak angin yang masuk ke dalam tubuh yang nantinya bisa menjadi masuk angin dan jika makin parah bisa menjadi angin duduk yang membunuh. Jadi, diam adalah kunci utama panjang umur.
"Ngapa berhenti di sini?" tanya Farah ketika Jati menghentikan motornya di kafe Yongki bukan di rumah seperti requestan si pemakai jasa.
"Lebih deket. Lagian ntar lo bisa balik bareng Yongki." Farah berdecak kesal.
"Yongki balik jam 10 ini masih jam 8! Lo mau nungguin gue sampai tua?"
"Lo udah tua."
Farah memukul kepala Jati dengan helmnya kemudian masuk ke dalam kafe untuk meminta makan malam. Sementara Jati masih melakukan ngamuk language-nya yaitu word of zoo sebelum akhirnya menyusul Farah. Dia juga mau minta makan.
"Jena bawain yang sama kayak si mak lampir ya." Jati memesan makanannya kepada seorang waiters yang bersiap ke pantry untuk menyebutkan pesanan pelanggan
"Iya Mas." Mendapat persetujuan Jenna, Jati menghampiri si Mak Lampir yang tampak bermain ponsel.
"Chatan sama siapa lo? Hana?"
"Sama Dirga! Nyebelin amat tuh bos gue. Besok gue rapat suruh dateng tepat waktu. Emang selama ini gue sering telat? Gue telat juga nggak sengaja."
"Nggak sengaja?" Jati benar-benar tak yakin dengan jawaban itu. Dia tahu sejak SMA Farah suka telat.
"Ya gue nggak sengaja. Nggak sengaja nggak kepengen berangkat kantor. Tapi, itu sumpah gue udah berusaha banget buat tetep dateng." Jati tak menemukan letak tak sengajanya.
"Ya udah besok jangan telat."
"Nggak bisa Ndrong! Gue udah janjian sama kasur, kalo sampai gue ingkar janji terus dia nggak mau tidur sama gue gimana?" Jati memuyar bola matanya jengah pada manusia drama di depannya.
"Betewe gue baru nyadar rambut lo ilang separo. Abis di jambak ibu-ibu kompleks?" tanya Farah setelah sadar rambut Jati mulai di potong pendek.
"Kata mama rambut gue ada jinnya makanya nggak dapet jodoh." Alis Farah naik sebelah kenapa tiba-tiba mama Jati berpikir sepwrti itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/246339413-288-k464118.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ This Girl is Little Bit Crazy
General Fiction"Saya peringatkan ya Om, saya jago taekwondo sabuk i-" "What you said? Om?" "Iya." "Don't call me Om." "Why?" "Itu buat kamu kedengeran seperti baby sugar saya."