Tidak ada yang lebih mengesankan selain presensi Kookie yang selalu menyempatkan diri untuk mendatangi Alena. Kapanpun itu. Kejadian kemarin—di saat Alena mengalami sebuah insiden di rumah Graceva—gadis itu tidak mengira kalau Kookie akan pulang hanya untuk memastikan keadaanya, meski cowok itu sedang menemui Lyla.
Hal sesederhana itu, membuat Alena merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan tatkala mereka tidak bersama. Alena yakin, Kookie dapat dipercaya dan bisa menjaga perasaannya.
Pagi sekali, Kookie datang ke apartemen Alena untuk menjemput gadis itu pergi ke kantor bersama. Dan yang paling penting, untuk memastikan kondisi kaki Alena yang kemarin sempat terkilir.
Menghabiskan belasan menit untuk menunggu Alena bersiap-siap. Di saat gadis itu melangkah mendekati rak sepatunya, Kookie sudah lebih dulu mengambil sepasang snearkers milik Alena.
“Nuna, sini! Aku sudah mengambil sepatumu,” kata Kookie yang terduduk di sofa. Kemudian tubuhnya beranjak, “Duduklah!”
Tidak lekas menuruti untuk terduduk, kedua netra Alena menatap sepasang sepatu yang ada di tangan Kookie. “Aku akan pakai high heels, Ki, sesuai peraturan kantor,” sergah Alena dengan ekspresi bingung.
Kookie menghela napas lebih dulu. Dia tahu, Alena pasti tidak akan lekas menyetujui; gadis itu taat sekali dengan peraturan. Saat pertama kali Alena datang terlambat ke kantor untuk yang pertama kalinya, gadis itu tidak henti-hentinya melafalkan kata maaf ke si tertua Suga.
“Tidak ada peraturan, kakimu sedang sakit.” Jemari Kookie meraih pergelangan tangan Alena, memberikan sedikit tarikan dan membuat gadis itu terduduk di sofa.
“Tapi, Ki, kakiku sudah tak apa.”
Enggan menimpali, Kookie memilih untuk menurunkan tubuhnya sembari meletakkan sepasang sneakers itu di dekat kaki Alena. Masih saja mengelak, padahal jelas-jelas Kookie mendapati gadis itu melangkah dengan sedikit tertatih. Terlihat seperti Alena tengah mencoba menyesuaikan langkahnya disela rasa sakit pada kakinya.
Saat Kookie membuka satu sneakers dan berniat memakaikan ke kaki Alena. Gadis itu buru-buru menahan, “Kookie, serius kakiku sudah tak apa.”
Selain merasa kakinya sudah lebih baik, Alena yang terduduk di sofa juga merasa sedikit terkejut saat Kookie berlutut di lantai, membuat jemarinya lantas merapikan rok span yang dia pakai untuk lebih menutup hingga perbatasan lutut.
Manik kembar Kookie melirik wajah Alena, hanya sebentar. Karena setelah itu, tangannya kembali bergerak untuk mencari noda keunguan yang terlihat di area mata kaki gadisnya itu.
“Ah, sakit!” ringis Alena tatkala kakinya yang terkilir mendapat tekanan dari tangan Kookie. “Kookie, apa yang kau lakukan? Itu sakit!”
Mengangkat sebelah alisnya, Kookie menatap wajah Alena. Tujuannya melakukan itu memang untuk memastikan, pun membuat Alena tidak mengelak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Baby.
Teen FictionAlena pikir, dia dipekerjakan untuk menjaga tiga bocah laki-laki yang menggemaskan. Namun, Alena salah besar tatkala eksistensi tiga bujang yang menyebalkan hadir di hadapannya seperti mengajaknya masuk ke neraka. Terlebih lagi tensinya selalu menin...