Sore hari yang sejuk di kota Bandung. Matahari di balik bangunan-bangunan tinggi itu sudah tampak keabu-abuan saat dirinya akan tenggelam. Langit memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran bergaya klasik khas Jawa Timur. Ia berlari-lari kecil memasuki restoran itu tempat ia akan bertemu seseorang.
"Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?" seorang pelayan menyapa saat membukakan pintu kaca untuk Langit.
"Reservasi atas nama Bapak Heru ..." tanya Langit sambil memindai beberapa meja kosong di dalam resto. Dan benar saja, sudah ada Heru yang melambaikan tangan dari meja nomor tujuh. Dekat sebuah akuarium besar pelengkap hiasan restoran itu.
"Maaf, saya sudah menemukannya," katanya sebelum pelayan tadi sempat membantu. Langit bergegas. Senyum riang sudah ia tebar sebanyak mungkin. Ini rindu yang terbayar selama ini.
"Hai jagoan papa ... kamu sehat?" laki-laki dewasa itu menangkup wajah Langit dengan kedua tangannya. Menelisik setiap inci tubuh putra kebanggaannya yang selama ini terpisah jauh darinya.
"Aku baik Pa..." jawab Langit lalu berhamburan dalam pelukan laki-laki berkarisma itu.
"Kapan Papa nyampe Bandung?" tanya Langit sambil menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kursi di depan papanya.
"Beberapa hari yang lalu. Maaf papa baru bisa mengunjungimu sekarang karena harus mengurus beberapa berkas kepindahan papa di sini," ucapnya sambil menggeser buku menu pada Langit.
"Jus wortel tanpa gula!" pinta Langit pada pelayan yang berdiri di samping kursinya.
"Bagaimana tes kesehatan kemarin?" tanya Heru tentang langkah awal putranya memasuki Akademi Polisi.
"Luar biasa Pa. Luar biasa capenya," jawab Langit sambil berkelakar.
"Itu biasa. Demi totalitas mengejar Biru, kamu harus merasakan cape seperti itu. Atau lupakan dia," jelas Heru mengingatkan kembali tujuan awal putranya memilih Akademi Polisi dan melupakan cita-citanya menjadi Arsitek.
"Enak aja main lupakan Biru. Langit sudah terlanjur suka Pa. Apa pun akan Langit lakukan. Dan menjadi polisi juga bagus. Kalo kata penguji Langit kemarin, Langit memang ada bakat. Terbukti nilai kesehatan fisik Langit sangat bagus."
"Kata Kombes Bagus?" tanya Heru tersenyum.
"Papa kenal?"
"Teman seperjuangan papa dan Om Agung," jawabnya dengan tawa renyah.
"Tapi bukan berarti nilai Langit hasil dari pertemanan kan Pa?" selidik Langit yang tak ingin usahanya terkalahkan oleh unsur nepotisme.
"Tentu tidak. Kamu memang layak lulus," imbuh Heru bangga.
"Kamu tidak terkejut mendengar papa pindah tugas di Bandung lagi?" ujar laki-laki itu lalu meneguk segelas coklat panas kesukaannya.
"Kaget sih. Tapi Langit senang Pa," ujar Langit sambil tangannya membuka galeri foto pada ponsel miliknya lalu mengarahkannya pada Heru.
"Apa ini?" kening Heru mengerut memastikan foto yang sedang dilihatnya.
"Anak gadis Papa," jawab Langit singkat. Jus wortel tanpa gulanya sudah tiba. Dengan hikmat pemuda itu meneguknya.
"Wooow ... kalian sudah sedekat itu?"
"Sedikit perlu kerja keras Pa," jawab Langit semangat.
"Oh ya? Anak papa sang kapten basket seperti mendapatkan tantangan menaklukan hati Biru," ia menepuk ringan bahu Langit.
Langit terkekeh. "Papa benar. Ini tantangan bagi Langit. Anak papa itu minta Langit jauhin dia. Dia sering diganggu oleh cewek-cewek penggemar Langit. Itu membuatnya kesal. Padahal Langit bisa lihat dia juga mulai suka," Langit percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruan Tembak Gue!
RomanceCinta itu tak pernah bergeser sedikit pun sejak ia menatap mata sayu gadis itu. Baraka Langit, berjanji akan menaklukkan calon tunangannya sendiri tanpa membawa label di jodohkan. Dan gadis bermata indah itu adalah Biru Pramana. Penakluk sang kapten...