Minta maaf

24 4 13
                                        

Sore kian beranjak. Tampak geng komik keluar dari toko buku langganan mereka dengan tentengan kantong berisi komik dan beberapa novel baru. Wajah mereka tampak semringah jika sudah menghabiskan uang di toko buku itu meskipun kali ini formasi terasa kurang tanpa kehadiran Elka sang juru bicara.

"Belom sembuh?" tanya Biru pada Indah yang baru saja menutup telepon dari Elka.

"Itulah kalo terlalu serakah makan coklat gak ingat temen. Sakit gigi kan dia," ketus Fera.

"Sudah, doakan aja temannya sembuh. Sekarang kita pesan makan ya," ucap Biru menatap buku menu di hadapannya.

"Samaan aja Bi. Biar gak ribet," pesan Indah menutup mulut Fera yang ingin memesan menu yang berbeda.

"Iya deh samaan aja," lirih Fera menurut.

"Bi, sudah kabarin pak sopir belom, lo pulang terlambat?" tanya Indah dengan matanya tetap fokus pada buku.

"Sudah dong. Tapi tolong ya jangan panggil dia sopir. Panggil dia bang Alex!" jawab Biru menatap tajam wajah Indah dan Fera.

"Cihh, mentang-mentang sopirnya ganteng gak boleh dipanggil pak sopir," Fera mengarang bebas yang sukses membuat kepalanya sedikit disentil Biru, "Jangan bantah. Nurut aja sih," tambah Biru.

"Lo gak risih selalu di kawal begitu? Gak om Heru gak sama bang Alex?" tanya Indah.

"Sudah biasa. Dari dulu juga gue udah begini. Kalo dulu anggota bokap gue yang sering jemput gue ke sekolah. Karena sopir di pake mama ke restoran. Lagian ini demi keamanan gue kan."

"Emang lo gak aman? Bukannya kalo anak polisi itu lebih aman? Siapa coba yang berani ganggu lo kalo tau lo anak KOMBES," ujar Indah.

Biru menarik nafasnya dalam. "Kata papa penjahat itu bisa ada di mana aja. Termasuk saat ini. Mungkin mereka sedang memantau gerak-gerik kita," ucap Biru yang berhasil membuat Fera ketakutan. "Yang bener lo Bi?" tanya Fera gugup. Biru tersenyum tidak menyangkal.

"Eh, gue penasaran. Setelah adegan syuur kalian di kelas pagi tadi, keromantisan apa yang kalian perlihatkan di depan ruang OSIS siang ini? Sudah jadian?" tanya Indah menyudahi bacaannya. Wajahnya sudah serius seperti ibu hakim dengan kacamata tebalnya.

Biru tergagap. "Gak. Kami cuma ngobrol." Fera menatap tajam Biru yng sungguh tidak bisa berbohong itu. "Seharian ini lo menjelma seperti istrinya Langit. Gue cemburu Bi." Plak ... tangan Indah begitu ringan menepuk bahu Fera agar tersadar. Biru menahan senyumnya.

"Dia selalu bilang gue calon istrinya!" ucap Biru sombong.

"What....?" Pelototan Indah dan Fera menuntut penjelasan.

"Emang begitu adanya," Biru mengangkat kedua bahunya enteng.

Fera beringsut mendekati Biru dan bertanya," Langit sudah nembak lo Bi?"

Biru mengangguk malu. "Tapi gue tolak!"

"Asem! Cuma lo yang berani nolak Langit!" ucap Fera tak percaya setelah menggebrak meja di samping piringnya.

"Pantes dia jauhin lo. Gue kira kemarin dia diamin lo karena lelah hayati lo usir-usir setiap kali dia mendekat. Eh ternyata memang sudah ditolak toh. Wajarlah! Dia punya harga diri kali. Secara dia cowok populer. Hilang Biru bisa datang Jingga, Kuning, Ungu dan warna lainnya," jelas Indah. " Ngapain juga lo sedih-sedih pas dia diamin lo?" imbuh Indah belum puas.

"Nyesel kali Ndah," ejek Fera. Biru menatap kedua sahabatnya dengan wajah separuh dirundung sendu sambil mengangguk pelan. "Sedikit!" lirih nya mengiyakan ucapan Fera.

"Kok sedikit?" tanya Fera menggeser piring spagetinya demi mendapatkan jawaban Biru dengan jelas.

"Karena tadi ...," Biru menahan ucapannya karena mengingat ucapan Langit yang melarangnya bicara pada siapapun kalo tidak mau disorakin satu kelas lagi.

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang