Jadi kapan kita ke KUA?

16 4 12
                                    

SEBELUM MEMBACA, TERIMA KASIH KEPADA KALIAN YANG SUDAH MENDUKUNG CERITA INI  DENGAN TELAH FOLLOW, VOTE, KOMEN DAN SHARE KE TEMAN-TEMAN LAINNYA. SEMOGA SEMOGA SEMANGAT YANG KALIAN BERIKAN KEPADA PENULIS DAPAT JUGA MENYEBAR KEPADA TEMAN-TEMAN YANG LAIN. 

SATU KALIMAT DARI PENULIS TENTANG TULISAN INI, "MENULIS LAH DARI HATI AGAR SAMPAI KE HATI..." 

TERIMA KASIH...

**********

Langit menuruni motor yang dipinjamnya dari Alex ketika akan menyusul Heru dalam penyergapan pagi tadi. Meskipun helaan nafasnya terdengar begitu berat namun tak sedikit pun menyurutkan langkahnya menyusuri setiap lorong rumah sakit hingga tampak oleh matanya pintu ruang perawatan Biru yang tertutup rapat.

Saat ini pukul sembilan malam. Pasti gadis itu sudah tertidur pikir Langit sesaat sebelum membuka pintu di hadapannya. Matanya langsung tertuju pada ranjang di dekat jendela kaca itu. Tampak rapi tanpa pasien kesayangannya terbaring di sana.

"Bi," gumamnya nyaris tak terdengar oleh gadis yang sedang duduk di sebuah kursi menatap pemandangan malam itu. Langkah Langit dibuatnya seringan mungkin agar tak terdengar. Berat pikiran yang membebaninya tadi menguar begitu saja kala menatap punggung kecil yang selalu ia rindukan selama mengenyam pendidikan beberapa tahun di Semarang. Berat, sangat berat! Tapi semua pengorbanan itu terbayar sudah saat dirinya dikukuhkan sebagai perwira polisi. Walau perjumpaan indah yang ia bayangkan harus melewati babak mengerikan karena ulah Adibrata dan Mahesabrata namun tidak mengurangi sedikit pun debar-debar perasaan dalam jantungnya saat menemui Biru malam ini. Cukup! Cukup sampai di sini! Semua akan dibuatnya indah setelah hari ini.

"Apa malamnya begitu indah?" ucap Langit menyampirkan jaket jeans hitam pada bahu Biru. Gadis itu terlonjak menatap wajah Langit yang sudah menepi pada sisi wajahnya.

"Langit, kamu sudah datang?" Biru meraih lengan kokoh Langit lalu memeluk pinggang kekasihnya itu.

"Ia aku sudah datang. Kenapa belum tidur? Ini sudah malam?" tanya Langit sembari mengusap kepala Biru yang masih bersandar pada pinggangnya.

"Aku nungguin kamu. Aku takut kamu kenapa-napa. Gimana tadi penangkapannya? Kamu gak apa-apa kan?" Biru mencerca Langit dengan pertanyaan yang beruntun. Lalu matanya beralih pada darah yang menodai baju Langit.

"Kamu terluka?" tanya Biru yang mulai panik. Tangannya membuka lebar jaket kulit yang dikenakan Langit. Matanya terbelalak. Darah di baju itu begitu banyak. Tak sabar menunggu lagi, Biru mengangkat bagian bawah kaos yang dikenakan Langit tepat di mana darah itu menempel.

"Hei kamu mau liat apa sayang?" tanya Langit sedikit terkekeh dengan ulah Biru.

"Ini darah apa?" tanya Biru saat tidak menemukan luka di perut Langit.

"Adi tertembak," ujarnya yang mengejutkan Biru.

"Apa kamu yang menembaknya?" Biru tahu apa konsekuensi jika Langit yang melakukan itu. Setiap peluru yang keluar dari selongsongnya akan selalu ada pertanggungjawaban. Dan apa yang akan terjadi jika Langit yang belum memegang surat tugas itu menembak Adi. Biru menunggu jawaban Langit dengan tak sabar.

Langit menggeleng. "Mahesabrata! Papanya sendiri," ucap Langit sambil menunduk menatap wajah terkejut Biru.

"Bagaimana bisa? Berarti Adi bersembunyi di rumah papanya?" Langit mengangguk.

"Rumah yang dijadikan markas besar mereka." Pemuda itu mengangkat bahu Biru pelan. Lalu menuntunnya untuk duduk di atas ranjang. Setelah memeriksa aliran infus Biru baik-baik saja, laki-laki itu duduk di kursi yang diduduki Biru tadi lalu menggenggam tangannya dengan lembut. Mata mereka terkunci. Antara rindu dan gusar yang menggunung menjadi satu.

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang