Kepanikan Langit

24 4 10
                                    

Sekitar dua puluh menit perjalanan, Langit dan Biru tiba di sebuah rumah sakit. Langit membukakan pintu untuk Biru dan mendudukkannya pada kursi roda yang diminta Langit pada seorang perawat tadi. Langit membawa Biru menuju meja resepsionis dan menunggu beberapa saat hingga akhirnya perawat mengantarkan Biru menuju ruang dokter yang akan mengobatinya. Sesampainya di depan ruang dokter, Biru masih harus menunggu namanya dipanggil karena di depan ruangan tersebut juga sudah menunggu beberapa pasien.

"Apa Anda yakin ingin mengantre Tuan?" tanya perawat pada Langit, anak pemimpin rumah sakit tempat ia bekerja saat ini. Cowok itu mengangguk dan tersenyum. "Santai saja, saya bisa menunggu," jawabnya berwibawa.

"Baiklah. Kalo begitu saya tinggal dulu Tuan," pamit perawat itu meninggalkan Biru dan Langit.

"Kenapa perawat itu bilang begitu Lang?" tanya Biru bingung.

"Gak apa-apa. Lo masih bisa menunggu kan?" Biru mengangguk. Tidak mendapat jawaban. Biru malah diberikan pertanyaan. Bingung! Tapi malu bertanya banyak. Sudah untung Langit mengantarnya.

"Gue sudah seperti istri diantarin berobat sama suami," gumam Biru menatap Langit diam-diam yang duduk di samping kursi rodanya. "Lang, gue haus," rengek Biru menyenggol lengan Langit yang sedari tadi berpangku pada salah satu bagian kursi roda.

"Oh, bentar ya, gue beliin minum," Langit segera beranjak dari tempat duduknya. "Lapar juga gak?" imbuh Langit saat sebelum ia melangkah jauh.

Biru menggeleng dan menyelipkan seutas senyum pada ujung bibir.

"Ok," Langit mengusap lembut rambut terurai Biru. Hubungan kita semakin membaik. Tapi hatiku tidak baik. Bagaimana jika sudah waktunya nanti, laki-laki itu datang? Apakah di saat yang sama aku harus melupakanmu? Apakah rasanya akan sakit? Baik hatimu dan hatiku akankah siap untuk berpisah? Lalu cerita kita selesai sebagai kenangan? Air mata itu turun. Biru menatap punggung Langit yang berjalan di lorong rumah sakit.

Setelah membeli dua botol minuman mineral, Langit kembali menuju tempat Biru menunggunya. Pada ujung lorong rumah sakit, langkah Langit terhenti.

"Mama ... Mama disini?" tanya Langit pada wanita anggun di hadapannya. Seperti biasa, Ayunda selalu berpenampilan modis dan berwibawa dengan rambut pendek dan kacamatanya. Hingga hanya dengan sekali pandang saja orang bisa menilai jika dia bukan orang biasa.

"Mama selesai memimpin rapat. Sayang, apa kamu sakit?" tanya Ayunda sembari mengusap kedua bahu anak tunggalnya itu.

"Bukan Langit Ma, tapi Biru," ucap Langit sambil menunjuk Biru di ujung lorong yang sedang menunggu.

"Biru anaknya Om Agung?" tanya Ayunda memastikan.

"Ia Ma, kakinya keseleo," jawab Langit dengan wajah datarnya mengarah pada Biru yang tidak tahu dirinya sedang dibicarakan.

Ayunda mencoba menajamkan pandangannya. Namun keterbatasan jarak pandang membuat Ayunda tak mampu melihat wajah Biru dengan jelas.

"Kenalkan sama mamanya kapan? Maaf waktu itu mama tidak sempat menemani kamu berkunjung ke rumah tante Lestari karena saudara kamu sedang sakit. Jadi, mama belum sempat bertemu Biru," jelas Ayunda sambil mengusap punggung tangan anaknya.

"Dia bukan saudara Langit Ma," ucap Langit membantah kalimat Ayunda.

"Sayang ..." lirih Ayunda menyesalkan sikap Langit yang belum bisa berdamai dengan sepupunya.

"Tidak apa-apa Ma. Dia memang lebih penting bagi mama dari pada Langit anak mama sendiri," ucap Langit dengan senyum sinisnya.

"Langit, sudah mama katakan, dia butuh mama, dia butuh kita sayang." Ayunda mengusap kedua bahu Langit berharap Langit akan mendengarkannya.

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang