Soft Opening

28 4 10
                                    

Jam pelajaran telah usai. Di samping ruang guru terdapat ruang OSIS yang di depannya terdapat dinding Mading. Satu demi satu pengurus OSIS mulai berdatangan. Hari ini mungkin hari terakhir anggota OSIS yang lama bertemu dalam satu ruang rapat. Karena setelah ini kepengurusan OSIS akan berpindah pada pengurus yang baru.

Langit, Wakil Ketua OSIS yang datang sedikit terlambat, berlari-lari kecil menuju ruang rapat. "Gak apa deh sekali-sekali terlambat. Toh gue belom pernah terlambat sekalipun," kata nya dalam hati. Sesekali memegang luka di ujung bibirnya tadi. Dan benar saja, rasanya sungguh tidak enak, "Aw ... sialan!"

Semua lorong kelas sudah tampak sepi. Tak terlihat lagi keriuhan penghuninya. Di depan pintu ruang OSIS, tampak Biru duduk sendiri sedang memainkan handphone. Menyadari langkahnya semakin mendekat, Langit berpikir keras kalimat apa yang akan disampaikannya kepada Biru untuk sekedar menyapa. Namun karena terlalu lama berpikir, lidahnya justru kelu dan kaku.

"Hai ...," sapa Biru lebih dulu. Biru berdiri sambil merapikan rok abu-abunya yang terlipat saat duduk tadi. Suara gadis itu begitu lembut. Bahkan dia lupa pernah meminta Langit menjauhinya.

"Ngapain di sini sendirian, belom pulang?" tanya Langit sedikit ragu.

"Belom. Lagi nungguin Fera dan Indah rapat. Kita janjian mau ke toko buku bareng."

"Ya sudah masuk aja, nanti digodain hantu penghuni sekolah," ucap Langit sedikit berani bercanda. Sumpah! Itu hanya bisa dilakukannya di hadapan Biru.

"Serius di sini ada hantunya?" tanya Biru polos. Sedikit mendekatkan langkahnya ke arah Langit berdiri. Langit menangkap reaksi serius dari Biru. Seakan benar-benar takut bertemu hantu di siang bolong.

"Heheheh ... bercanda kok. Justru hantu di sini itu tampan banget," Langit menaik-turunkan kedua alisnya seolah hantu tampan itu sudah berdiri di hadapan Biru.

"Ia ... jangan-jangan kamu yang jadi hantunya?"

"Berarti hantunya beneran tampan dong ...," Gadis itu pun kembali lega dan tertawa lepas menyambut candaan Langit. Luka di ujung bibir Langit masih menjadi perhatian Biru.

"Sakit?" tanya Biru menyentuh ujung bibir Langit yang terluka. Deg ... mata mereka saling bertemu. Detak jantung mereka saling bersahutan dari dalam sana.

"Sudah gak, kan tadi sudah diobatin," balas Langit sedikit berkilah dengan suara gugupnya. Karena nyatanya luka itu memang masih terasa perih.

"Flunya?" tanya Biru kembali.

"Sudah gak. Makasih ya yang tadi," Langit menangkap senyuman Biru sebagai jawabannya.

"Biru Pramana!" panggil Langit yang mengubah senyum Biru menjadi tegang.

"Hah ...,"

"Kalo ada cowok lain deketin lo, lo bisa kan menghindar? Kalo bisa lo lari sejauh-jauhnya." Langit meraih kedua tangan Biru yang terasa dingin. Biru sedikit gugup.

"Adi?" tanya Biru yang mengerti maksud Langit.

"Siapa aja selain gue. Gue gak mau kejadian pulang sekolah kemarin terulang lagi." Langit menyimpan lembaran rambut Biru yang terhembus angin ke balik telinga. "Karena lo cuma buat gue," ucap Langit mengecup lembut kening Biru. Gadis itu membulatkan matanya sempurna. "Lo nembak gue?" tanya Biru setelah Langit menyudahi kecupannnya.

"Ini baru soft opening. Tunggu grand openingnya. Gue akan bikin yang paling spesial buat lo," Langit mengusap pipi halus Biru.

"Lo lupa gue punya tunangan?" lirih Biru mengingatkan.

"Tapi di jari ini belom ada cincin apa-apa. Kita akan lihat, siapa yang akan melingkarkan cincin di jari lo nanti. Jangan tolak gue lagi!" jawab Langit yang sudah meluruhkan pertahanan Biru.

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang