Sohib

23 4 17
                                    

Langit penuh keringat. Lapangan basket menjadi tempat pelampiasan frustrasinya. Tak ada teman bermain namun Langit melempar bola penuh dengan ambisi seakan ada lawan yang menyerang. Ungkapan perasaan Adi kepada Biru sudah membuat dadanya sesak. Ditambah lagi kejadian siang tadi. Langit semakin gerah. Lemparan demi lemparan tepat mengenai ring seakan ia melempar wajah Adibrata yang sedang menertawakannya. Pikiran sang jawara basket itu mulai tak tenang.

Aaaaa ... gue harus apa?

Flashback on

Kring kring kring ...

"Langit, papa jemput kamu jam 7 malam y!"

"Ia Pa. Langit gak lupa," jawab Langit kurang semangat.

"Papa akan sangat bangga sama kamu Boy kalo bisa memenuhi keinginan terakhir tante Lestari," ucap Heru dari balik telepon.

"Ok. Tapi Langit punya satu syarat!"

"Apa itu?" tanya Heru.

"Rahasiakan identitas Langit dari gadis itu. Biarkan Langit berjuang. Dan jika itu tidak berhasil ...," Langit terdiam Heru menyambar kalimatnya yang belum selesai, "Dan jika kamu tidak berhasil, Papa dan om Agung yang menyatukan kalian."

Langit menutup telepon itu. Terduduk diam di pinggir ranjang. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam. Menatap langit-langit kamar dengan sejuta kebingungan dalam hatinya.

"Apa gue akan bahagia dengan orang yang tidak gue kenal?" gumam Langit menebak nasibnya beberapa jam ke depan lalu bergegas memakai pakaian serba hitam.

**********

"Hei ... laki-laki es, kenapa lo frustrasi. Malu tuh sama otot-otot besar di tangan," ucap Rega yang sengaja mampir ke rumah Langit.

Di rumah besar bergaya minimalis itu memang disediakan lapangan basket khusus untuk Langit. Di sisi pojok taman belakang ada kolam berenang yang cukup luas untuk Langit menghabiskan waktu bosannya. Tampak juga ruangan gym yang berada di samping taman di dalam rumah. Dari kemewahan yang dinikmati oleh Langit, terlihat jelas keluarga Langit bukanlah orang biasa-biasa saja.

"Bisa aja lo Ga," Langit menghentikan permainan tunggalnya. Mencoba bersikap wajar di hadapan Rega.

"Udah ketemu sama Mama? Main masuk aja," Langit melempar handuk kecil bekas keringat ke arah Rega. Rega sigap menangkapnya.

"Tante Ayunda tambah cantik aja." Senyum Rega mengembang saat memuji kecantikkan mama Langit yang ditemuinya saat masuk rumah tadi.

"Ia lah, jadi lo tau kan dari mana asal kegantengan gue."

"Ia ... ia ...," Rega setuju.

"Ngapain lo kesini? Mau curhat tentang Indah lagi?"

"Tuh tau. Tadi gue ke lapangan basket tempat biasa lo main. Tapi lo nya gak ada. Maka itu gue kesini. Karena gue yakin lo gak akan kemana-kemana. Namanya juga jomblo akut. Mau kemana sih sendirian."

"Mau curhat atau ngeledek nih?"

"Ia, ia ..., gue mau minta pendapat nih, kapan ya waktu yang pas buat nembak? Indah selalu sama geng nya itu sih, jadi agak susah. Kasih saran dong Lang. Karena gue yakin sekarang Indah juga sudah suka sama gue."

"Lo kan bisa telepon dia. Lagian juga kalian tetanggaan. Itu aja dibikin susah," Semua jawaban Langit tidak ada yang membantu.

Rega tertunduk. "Fera gak mau kasih nomor Indah ke gue. Dan kalo di rumah, itu anak gak pernah keluar kalo bukan sama mamanya ya keluar bareng geng sambalado nya itu. Ada ide lain gak Lang?"

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang