Langit Membisu Seperti Rintik Hujan

13 4 10
                                    

Persiapan menuju PENSI hampir selesai. Hanya tinggal sentuhan akhir bisa dilanjutkan nanti sore menjelang acara. Seperti menyusun kursi dan makanan ringan untuk tamu undangan. Mereka yang terlibat dalam persiapan itu terlihat sudah berkumpul di ruang OSIS dan beristirahat menyantap makan siang. Minuman hangat seperti cappucino menjadi rebutan utama kala hujan mendera.

"Eh liat Biru gak, giliran dikasih makan malah pergi." Elka mengedarkan tatapannya di dalam ruang OSIS itu. Namun bayangan Biru saja tak tertangkap oleh pandangannya.

"Mungkin ke toilet, kan sekarang lagi dingin banget jadi kebelet terus," ucap Indah sedikit terkekeh.

Sudah satu jam berlalu, Biru masih berdiri di sana. Di tempat yang sebelumnya juga didatangi Langit. Gerimis pun tampak belum usai. Seolah ingin menjadi musik pengiring di kalbu Biru yang sendu. Gadis itu mendekatkan kedua telapaknya. Menampung beberapa tetes air hujan lalu dicurahkannya kembali pelan-pelan. Dengan senyum yang ia simpul di ujung bibir, ia mengajak hatinya untuk memahami kerapuhan ini. Sungguh sebuah siang yang pilu. Langit sudah membacanya. Tapi tak bergerak mendekat padanya. Apakah hanya sebuah tulisan tak berarti baginya. Atau hanya materi-materi tidak penting untuk dibahas. Semarah itukah Langit?

Biru melirik jam di tangan kirinya. Biasanya Alex sudah menelepon sebelum jam pulang sekolah. Tapi ini sepertinya sedikit terlambat. Segera ia mengambil ponsel dari dalam sakunya dan mencari nomor kontak Alex. "Mana sih, biasanya mudah gak jauh-jauh deh nomornya," Biru berdecak kesal sendiri.

Tiba-tiba matanya sekilas menatap ke arah lapangan basket kembali. Di sana terlihat Langit yang sedang melantunkan bola dengan seorang temannya yang Biru tidak kenal. Beberapa kali ia menggosok matanya ingin memastikan yang dilihatnya adalah Langit. Dan benar saja itu memang dia.

Langit hanya mengenakan kemeja putih sekolahnya ketika bermain basket di tengah gerimis siang itu. Ia tampak tak peduli dengan badannya yang basah. Sesekali ia mengibaskan rambut yang memercikkan air hujan. Terlihat ketampanannya naik hingga level sembilan. Nyaris membuatnya sempurna.

Biru beranjak menuju kelasnya. Melewati lorong-lorong yang tak terguyur hujan. Hanya menunduk dengan wajah serius. Walau sebenarnya ia tahu mata Langit tak lepas mengawasinya hingga memasuki kelas.

Dilihatnya semua sudah tampak rapi, Biru beranjak meninggalkan kelas. Langkahnya sedikit buru-buru karena takut Alex menunggu lama. Rambut yang terurai tadi dikuncirnya dalam satu ikatan sembari berjalan. Terlihat lebih rapi dan tak mengurangi manisnya Biru. Masa bodoh dengan rambut terurainya yang paling Langit sukai. Bahkan Langit membisu seperti rintik hujan.

Di depan ruang guru di dekat gerbang sekolah, Biru berdiri sejenak. Menghentikan langkahnya dan menatap ke arah lapangan basket kembali. Entah perasaan apa itu, hatinya begitu ingin mendekat.

Biru menarik nafas kasar dengan sebal yang tak tertutupi lagi di wajahnya. Kebetulan penjaga sekolah melintasi dengan sebuah payung yang akan disimpannya kembali ke dalam ruang guru.

"Permisi Pak, boleh saya pinjam payungnya sebentar?" tanya Biru dengan nada santunnya.

"Oh ya silah kan," ucap penjaga sekolah. Biru bergegas membuka payung itu setelah ia mengucapkan terima kasih kepada pemiliknya lalu melangkah menuju lapangan. Dilihatnya target operasi masih saja melempar-lempar bola ke ring tanpa gagal sekalipun. Dia memang jago...

Menyadari Biru mendekatinya, Langit memutar badan ke arah wanitanya itu. Ia terperangah dan menghentikan permainannya. Bola itu dibiarkannya terhempas bebas ke lantai hingga percikannya semakin menambah basah celana abu-abu Langit.

Biru mendekat, berdiri sangat dekat. Hingga tubuh mereka berdua cukup di topang oleh satu payung saja. Biru mengangkat wajahnya menatap mata Langit jauh ke dalam.

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang