Puisi Untuk Langit

14 4 12
                                    

Malam tampak berkilau oleh bintangnya. Menarik hasrat Biru untuk menikmati itu di tepi jendela kamar. Bersandar pada kusen jendela yang berwarna putih. Menghirup helai demi helai angin sunyi yang membelai rambut indahnya.

Kriiing ... kriiing ...

Suara panggilan telepon dari ponsel gadis berponi itu. Biru beranjak menuju tempat tidurnya lalu meraih ponsel yang menampilkan nama 'Tomboi'.

"Bi ... udah tidur belom?" tanya Elka dari ujung telepon.

"Belom Ka, kenapa ... tugas lo belom selesai ya?"

"Lo sudah berterima kasih belom sama Langit?" jawaban Elka tidak nyambung.

"Buat apa? Yang ada gue lagi marah sama dia karena marah-marah sama gue. Dia bilang jangan-jangan gue suka dipegang-pegang sama Adi. Gila kan tu cowok! Apa sih yang ada di pikirannya," ucap Biru masih tak terima.

"Lo gak tanya kenapa dia begitu?"

"Gak sempat. Dia ngegas mulu."

"Karena dia mau lindungin lo dari perbuatan bejat Adi," jelas Elka dengan nada sedikit berapi-api.

"Maksud lo?" Biru menggenggam erat ponsel di tangannya sembari cerita Elka bergulir tanpa tanda berhenti. Titik-titik air mulai membasahi matanya yang tak mampu lagi membendung penyesalan besar. Mengapa kata cemburu yang samar itu begitu sulit terbaca olehnya? Sedangkan Langit, cowok itu bisa membentangkan sayapnya cepat meski tak tampak olehnya Biru sedang dilanda masalah. Langit sungguh mudah merasa. Tapi Biru? Ia butuh bahasa tanpa terjemahan untuk mengerti semuanya. "Baraka Langit!" isak Biru kian menjadi.

**********

Hari ini Biru di antar Alex hingga ke dalam gerbang sekolah. Lengkap dengan jepit rambut kecil di tepi poni dan sedikit lipstik merah jambunya Biru melangkah tergesa-gesa. Sesekali ia mengedarkan matanya mencari sosok laki-laki merajuk yang membuat malamnya dibanjiri air mata. Ya, setidaknya begitulah Biru menganggap kelakuan Langit yang berteriak padanya kemarin.

"Kamu di mana Langit?" gumam Biru saat tidak menemukan orang yang ia cari. Biasanya cowok itu selalu bersama Rega atau main basket sekedar menunggu bel masuk kelas berbunyi. Tapi apa ini? Hanya ada Rega yang sedang bermain gitar ditemani Indah di depan panggung tempat PENSI akan dilaksanakan. "Pamer kalo udah jadian!" benak Biru saat membalas lambaian tangan Indah yang menyapanya.

"Bi ... ngapain lo buru-buru?" Elka yang juga baru tiba menyapa Biru dengan wajah antusiasnya.

"Cari kapten gue," lirihnya semakin menajamkan pandangan ke ujung sana. Hingga langkahnya melambat.

"Akhirnya lo sadar juga. Selain berterima kasih pada Langit, lo juga harus berterima kasih pada Mona berkat info pentingnya itu," cerocos Elka mengiring langkah mereka menuju panggung PENSI dipersiapkan.

"Kalo yang itu lain kali. Gue gak mau ketemu Mona kalo harus ketemu Adi juga," ketus Biru yang disambut anggukkan Elka. "Jangan lupa, untuk urusan ini gue bolehkan lo sedikit jual murah. Tapi tidak untuk urusan lain!" Elka menepuk bahu Biru.

"Kok terlambat sih?" tanya Indah yang baru saja dihampiri Biru dan Elka di panggung utama pelaksanaan PENSI.

"Fera mana?" jawab Elka dengan pertanyaan lagi. "Tuh di ruang OSIS," tunjuk Indah dengan mulutnya membalas kata-kata ketus Elka padanya. Ruang OSIS itu hanya bersisian dengan panggung tempat mereka berdiri. Dan berselang dua kelas dari ruang OSIS terdapat papan Majalah Dinding yang sudah menerbitkan edisi terbarunya.

"Ke sana yuk. Langit pasti juga di sana," ucap Elka pada Biru yang sendu dengan garis wajahnya.

Biru menggeleng. "Dia tahu gue di sini," jawab Biru menunduk. Langkah pelannya menuju panggung utama tadi tak luput dari pantauan Langit yang memperhatikannya dari dalam ruang OSIS. Rindu yang membuncah luruh begitu saja saat Langit membuang pandangannya kala Biru balik menatapnya. Biru mengerti. Cemburu Langit masih meninggalkan sisa bahkan mungkin masih berkabut marah.

Buruan Tembak Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang