Follow sebelum baca!!
°
°
°
"Astaghfirullah, lo ngapain di sini, Ar!" teriak Anara menarik paksa selimut yang dipakai semalaman olah nya dan juga laki-laki itu.
Kakinya perlahan mundur ketakutan dengan apa yang sudah diperbuat oleh laki-laki terse...
Gimana kabar kalian hari ini? Happy or sad? Semangat buat jalanin aktifitasnya ya, jangan lupa senyum tiga jari🤭
Aktifitas kalian apa nih? Kalau aku sih, persiapan ujian kelulusan.
Warning!!
Vote dan komen kalau kalian suka sama cerita ini dan tambahin ke perpustakaan kalian buat gak ketinggalan update terbarunya. And terakhir aku mohon jangan bawa-bawa nama tokoh lain atau cerita lain di lapak aku, hargai author ya, xixixi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEDIAMAN KELUARGA ALEXANDER.
Dua motor sport berwarna hitam dan merah memasuki tepat di pekarangan rumah mewah berlantai dua. Gadis dengan tas ransel tersangkut dipundak dengan cepat turun dari atas kuda besi hitam.
Kedua lengannya menentang tiga tas belanja berisi tidak lain dan tak bukan permen warna warni.
Selepas jalan-jalan, Arkan menjadikan untuk membeli stok gula-gula Anara. Dan itu hasilnya. Berniat memberi 10 saja, malah jadi 60. Anara selalu bisa membuat Arkan mengabulkan apapun dia minta.
Ketiganya masuk ke dalam rumah, karena sudah ditunggu oleh keluarga di dalam. Entah apa yang akan di bicarakan, terlihat sangat penting dari nada bicara mereka saat menelepon.
“Kira-kira, lo, ngapain di suruh ke sini, Ar?” Anara melirik Arkan penuh tanda tanya.
“Mana gue tau.” Arkan membalas dengan mengangkat bahu acuh.
“Kalian mau di nikahin kali,” timpal Dewa asal ceplos.
“Ngaco.” Kompak Arkan dan Anara. Menghadiahi dengan jitakan maut.
“KDP lo pada!” ketus Dewa mengelus kepala bekas jitakan.
“Apaan tuh, KDP?” Anara mengernyit bingung.
“Kekerasan dalam pertemanan.” Dewa berjalan lebih cepat meninggalkan keduanya.
“Gue save kata-katanya!” teriak Anara.
***
“
Assalamualaikum,” salam ketiga dengan memakai seragam sekolah lengkap.
“Waalaikumsalam,” jawab bi Lastri.
“Non Anara sama Den Arkan, sudah ditunggu oleh keluarga kalian di dalam.” Bi Lastri yang memang sudah sedari tadi ditugaskan berjaga di depan pintu menyampaikan perintah majikannya.
“Ada apa memangnya, Bi?” tanya Anara, dengan mimik wajah penasaran.
“Gue rasa akan ada kejutan besar di dalam, Ar,” bisik Dewa tepat pada telinga Arkan sebelum benar-benar masuk. Arkan diam tak menanggapi.
“Tidak tahu, Non. Lebih baik langsung temui saja,” balas Bi Lastri ramah.
Anara dan kedua lelaki itu mengangguk kecil. Kemudian pergi menemui orang-orang di ruang tamu tanpa sedikit curiga atau apa pun mendengar ada kedua keluarga berkumpul secara tiba-tiba.
Keluarga Arkan sering berkunjung ke rumah Anara begitu pun sebaliknya. Mereka sangat akrab begitu terjalin persahabatan kedua anaknya. Kedua orang tua pun saling berteman juga.
Pipi Anara dan Ayah Arkan pun rekan kerja. Mereka saling bantu membantu membangun perusahaan keduanya selalu lima tahun terakhir.
Sampai di ruang tamu. Benar, mereka berdua tengah ditunggu oleh empat orang beda generasi.
Keempatnya mempersilahkan ketiganya duduk lebih dulu. Sebelum membahas hal penting.
Anara duduk di tengah-tengah antara Arkan dan Dewa, dengan di depannya ada Aditya serta Santoso. Di samping kiri kanan ada Maryam dan Merina.
Santoso melirik ke arah Adi, Mary, dan Rina sekilas sebagai isyarat dan setelah mendapat anggukan kepala dari ketiganya baru dia akan memulai.
“Karena kalian udah di sini. Langsung aja kita ke inti pembicaraan biar gak buang-buang waktu,” ujar Santoso tegas penuh wibawa.
Aura di ruangan itu terlihat berubah panas. Jantung Arkan dan Anara seketika berpacu cepat seperti akan mendapat sebuah berita hot.
“Kami berempat sepakat untuk menikahkan Arkan dengan Anara,” ujar Santoso dibalas anggukan dari ketiganya.
Jger!
Bagaikan petir menyambar ke seluruh tubuh. Anara, Arkan, Dewa. Mereka mematung mencerna perkataan itu.
‘Bener dugaan gue, di nikahin dong' batin Dewa.
“Tunggu, tadi Om bilang apa. Nikahin aku sama Arkan?” tanya Anara dengan wajah melongo. Otaknya susah memahami kata-kata Santoso.
“Iya, kita mau nikahin kalian berdua,” jawab Santoso mengulang perkataannya tadi.
“WHAT NIKAH!” Refleks Anara teriak, menampilkan mimik wajah super kagetnya.
Teriak itu sukses membuat mereka semua menutup telinga. Sungguh, suara keras Anara menusuk hingga ke dalam-dalam dasar telinga, hingga berdengung saking gilanya.
“Santai, jangan terik juga dong, Ra. Pengeng kuping kita, nih.” Dewa menutup mulut Anara saat akan teriak lagi.
Anara mengangguk. “Refleks tadi mah, Wa.” Keenam orang di sana mengangguk memaklumi, Anara.
“Kalian jodohin kita berdua.” Anara menatap keempat orang tua, sambil menuju dengan tangan ke arah dirinya dan Arkan.
Adi, Mary, Rani, dan Santoso mengangguk secara bersamaan sebagai jawaban dengan senyum manis terpatri di wajah mereka.
“Maksud kalian apa, sih, kenapa otak pinter Anara tiba-tiba gak bisa dipake cerna ucapan, Om.” Anara melirik Santoso, sambil melongo mengembangkan kedua pipi chubby nya.
‘Saat kaya gini aja narsis nya tetep ada' batin Arkan.
“Ayah jelasin ini maksudnya apa?” Arkan menimpali ucapan Anara. Atensi mereka langsung menuju Arkan, kecuali Anara masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Sejak tiga tahun terakhir kami sepakat akan menjodohkan kalian berdua. Kami juga sudah menyiapkan semua persiapan pernikahan dan rencananya akan dilakukan dua hari lagi,” jelas Santoso.
“DIKATA TAHU BULAT KALI DADAK!” seru Anara menimpali ucapan Santoso. Kemudian semua tatapan tertuju ke arahnya lagi. Anara hanya menyengir tanpa dosa.
“Lagi serius ini, Ra. Jangan bercanda dulu.” Dewa menyenggol lengan Anara membuat sang empu menatap kesal.
“Ini juga serius, Wa!” ketus Anara.
“Gak dadakan kok, ini udah kami siap in jauh-jauh hari,” ujar Santoso tersenyum manis.
“GILA AJA GUE NIKAH DUA HARI LAGI” batin Anara melirik sekilas ke arah calon mertuanya.
“Tapi kenapa kalian baru bilang sekarang?” tanya Arkan tanpa ekspresi.
“Biar jadi kejutan,” jawab Rani, mamahnya Arkan.
“Kalian kenapa ngambil keputusan sepihak? Aku sama Arkan sahabatan dan gak akan pernah nikah. Ikatan kami hanya akan seperti ini sampai kapan pun!” seru Anara menyuarakan isi hatinya.
“Justru karena kalian bersahabat, kami yakin buat nikahin kalian secepat mungkin,” sahut Santoso yakin diangguki oleh ketiga lainnya.
“Itu kalian yang yakin, bukan aku atau Arkan, Om!” tegas Anara, mimik wajahnya berubah marah.
“Tahan amarahnya, Ra,” tegur Arkan.
Anara mendengar itu mendelik tak suka, “Gak boleh marah? Biasanya di novel gitu kalau di jodohin pasti marah-marah. Masa gue gak boleh, sih.”
Perkataan itu, sontak membuat semuanya menahan tawa. Ada saja, pikiran Anara ini.
“Ampun, ini nyata, Anara. Bukan dunia novel.” Dewa menepuk jidatnya.
“Keluar dulu dari dunia perhaluan lo itu,” sambungnya.
'Bukan anak gue' batin Mary dan Adi. ‘Mantu gue emang beda' batin Santo dan Rani.
Anara melirik orang-orang dengan mata memicingkan, apakah dirinya salah marah saat tiba-tiba dikatakan akan menikah dua hari lagi? Pikirannya tidak sama sekali, ini hal wajar bukan?
Ah, Anara sangat benci paksaan seperti ini. Dia merasa semua hidupnya penuh dengan tekanan.
“Kalian mau, 'kan?” Rani menatap penuh harap keduanya.
“Gima–“ perkataan Arkan diserobot oleh Anara.
“Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Siti Jainab, Siti Suria, Siti apalah itu yang masih jodohin anaknya. Aku gak akan mau terima!” tegas Anara penuh penekanan serta nada suara naik dua oktaf.
“Kalian kenapa sih, nikah bukan hal main-main. Anara sama Arkan masih SMA, lulus pun belum. Lagian Anara belum ada pikiran ke sana!” serunya menyuarakan perasaannya.
‘Anara gak mau nikah sama orang mukanya mirip sama dia. Anara mau nikah sama Aka, bukan Arkan' batin Anara menggeleng kuat.
Impian sejak dulu adalah menikah dengan Aka, teman masa kecil yang sialnya muka dia sangat mirip dengan Akanya.
Hidup dirinya sudah diatur oleh orang-orang, perihal jodoh Anara tidak mau dipilihkan orang lain.
Bukankah kita punya hak untuk memilih apapun keinginan kita? Kenapa Anara tidak, dia selalu di tekan untuk menyukai apa yang tidak dia mau.
Arkan mengelus punggung Anara lembut, biasanya dengan ini dia akan tenang.
“Ra, jangan marah-marah. Kalau gak mau bisa ngomong baik-baik, gak usah pake nada tinggi, apalagi sama orang lebih tua,” bisik Arkan di belakang telinga Anara.
“Sayang, tenang dulu.” Mary pindah duduk di samping Anara, melakukan hal sama seperti Arkan. Kemudian dia menatap penuh sayang putri satu-satunya.
Anara merasa nyaman diperlukan seperti itu, tetapi perasaannya campur aduk. Marah, kesal, kecewa, sedih.
Mereka melihat pemandangan di depannya tersenyum haru, apalagi sikap lemah lembut Arkan dengan Anara.
“Tenang,” bisik Arkan mengucapkan kata-kata penenang lainnya di kuping, Anara.
“Gimana mau tenang, tiba-tiba kita di jodohin, Ar. Mungkin lo bisa terima hal ini, tapi gak dengan gue,” lirih Anara melirik sekilas mata hijau itu.
'Jelas mau karena lo yang selama ini gue cari, Ra' batin Arkan.
“Sayang, dengerin semuanya dulu baru kamu bisa kasih keputusan,” sahut Mary masih dengan suara pelan.
“Jelasin semuanya sekarang,” pinta Arkan dingin.
“Mimi sama Pipi ada kerjaan di Amerika. Perusahaan di sana mengalami penurunan besar. Kevin juga mau pindah kuliah ke Bandung,” ungkap Adi, pipinya Anara.
“Kami gak tega ninggalin kamu di Indonesia sendirian. Saudara kita juga jauh-jauh, makanya kami sepakat pernikahan kalian yang rencananya lima tahun lagi maju jadi dua hari. Biar Anara ada yang jagain, yaitu Arkan,” sambungnya.
“Pipi, Mimi yakin kalau Arkan bisa jagain kamu. Kita lihat sejauh ini cuma dia sahabat yang bener-bener bisa lindungi dan paham sama sikap kamu Anara.”
“Jadi gitu, semoga kalian paham.” Adi mengakhiri penjelasannya.
“Mamah pun udah sakit-sakitan. Mamah juga mau liat kamu nikah, Ar,” sahut Rina dengan suara bergetar.
“Mah, jangan ngomong gitu.” Santoso mengelus lembut tangan sang istri.
“Terserah alasannya apa, pendirian Anara tetep sama. Satu lagi, Anara bisa jaga diri sendiri!” Mata hazel itu menutup menetralkan napas dan suasana hatinya.
“Anara ke kamar duluan, permisi.” Langkah cepat Anara menuju lantai atas, kamarnya.