Follow sebelum baca!!
°
°
°
"Astaghfirullah, lo ngapain di sini, Ar!" teriak Anara menarik paksa selimut yang dipakai semalaman olah nya dan juga laki-laki itu.
Kakinya perlahan mundur ketakutan dengan apa yang sudah diperbuat oleh laki-laki terse...
Sebenarnya tiap hari aku nulis sih, tapi kadang gak ada waktu buat revisi setelah di tulis. Jadi, aku kadang update dua sekaligus kalau gak update, hehehe.
Enjoy sama ceritanya 🌻
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Lo gak ngerasa salah, Ar?" Dewa menatap tajam setelah melihat kepergian Anara begitu saja.
"Salah?" Arkan menautkan alisnya bingung.
"Iya, lo gak ngerasa itu?"
"Gak," jawabnya singkat.
Dewa, Rafly, serta Ratu menatap tak percaya dengan jawaban Arkan. Beda dengan Rere dan ketiga pemain basket lainnya merasa biasa saja.
Arkan merapihkan barang-barang berniat akan pulang bersama Rere. Namun, kegiatannya berhenti kala mendengar ucapan Dewa.
"Bego. Cewek lo nangis liat pacarnya berdua sama cewek lain dan lo gak ngerasa bersalah? Sikap lo salah banget, Ar!" tatapan tajam menghunus ditunjukkan kepada Arkan.
"Lo gak liat tatapan kecewa dan rapuh Anara di matanya. Apa lo gak ngerasain betapa hancurnya dia saat liat lo pelukan sama cewek lain? Lo cowok bukan, sih!" sewot Dewa.
"Gue gak peduli." Arkan menarik lembut lengan Rere pergi dari sana.
Lagi, perkataan Arkan membuat sesak di hati para sahabatnya. Mau bagaimana mereka bisa merasakan sakitnya saat seseorang yang kita sayang bermesraan dengan orang lain.
'Gue harap lo gak nyesel saat Anara udah milih nyerah'
~~~
"Gimana, kamu udah hubungi dia?" Seorang wanita paruh baya berumur 38 tahun itu menatap putra sulungnya.
"Udah, Bun, bentar lagi paling–"
Belum selesai dengan ucapannya suara seseorang mereka tunggu terdengar menggelegar di lantai bawah.
"Bunda, bunda di mana?" teriak lantang lelaki yang baru memasuki kediaman Adinata.
"Bunda, ini aku!" Lelaki bermata hitam pekat itu menatap ke seluruh penjuru ruangan berharap orang dicarinya ada.
"Bunda, bunda baik-baik aja?"
"Bunda, ini Derent!"
"Bunda, jangan buat aku khawatir!"
"Bunda, di ma–"
Teriakkan itu terhenti kala suara lembut sangat dia khawatirkan terdengar memasuki gendang telinganya.
"Di sini, Sayang." Wanita yang dipanggil bunda turun dari tangga, lalu menghampirinya.
Tatapan khawatir itu berubah cerah melihat orang yang membesarkan selama 15 tahun terlihat baik-baik saja.