"𝑨𝒏𝒅𝒂𝒊 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒏𝒈𝒈𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒊 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒂𝒔𝒊 𝒊𝒕𝒖."
: ft. Jeno
Bercerita tentang Arzio dan waktu yang selalu menempatkan dia di posisi yang salah. Menyisakan penyesalan yang tidak berujung ta...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ikhlas adalah hal tersulit disaat perpisahan menjadi titik terakhir dari suatu pertemuan."
- Arzio bab 50 -
Lagi-lagi kesedihan datang bertamu tanpa diundang. Mengusir kebahagiaan yang kala itu hadir walau hanya dalam beberapa jam. Duka menyelimuti lara yang menerka dalam raga. Menghancurkan segala asa. Menghilangkan banyak makna tentang arti sebuah keluarga.
Tidak pernah terbayangkan akan datang hari ini, dimana perpisahan harus menjadi titik terakhir perjumpaan mereka selama-lamanya. Seluruh jiwa dalam raga seakan ditarik dari elemen fatamorgana.
Arzio membeku tepat di depan pekarangan rumahnya, memerhatikan banyak bendera kuning.
Kakinya terasa mati rasa. Matanya memerah sontak langsung mengeluarkan gelinang air mata. Dia menangis menatap pilu nama yang tercantum di bendera kuning itu. Delina, Arzio dengan jelas melihat nama sang Mama pada bendera itu.
Berulang kali dia menyangkal dalam hati kalau ini hanya mimpi.
Nggak ini pasti mampi, gue tau ini cuma mimpi. Nggak mungkin! Arzio membatin.
Namun, sebuah tepukan di pundaknya dapat dengan jelas dia rasakan. Ini bukan mimpi, semua yang dia lihat memang benar adanya.
"Lo darimana aja?"
Arzio menoleh ke sumber suara. Netranya menangkap presensi Jermi yang berpakaian serba hitam dan sedikit kotor akibat terkena tanah liat.
"Kenapa baru pulang?" tanyanya sekali lagi.
"Jer ..., ini bercanda kan?" Jermi hanya diam.
"Bilang sama gue kalau ini cuma bercanda!" Arzio memekik histeris di hadapan Jermi.
"Jer! Bilang sama gue kalau ini cuma bohongan! Bilang Jer!" Arzio mengguncang tubuh Jermi. Memaksa agar Jermi mengatakan kalau semua ini hanyalah kejutan yang direncanakan.
Rasanya tidak mungkin. Baru tadi pagi Arzio memeluk erat sang Mama, baru pagi tadi Arzio berpamitan untuk latihan, baru pagi tadi Arzio mengungkapkan rasa terima kasihnya, dan baru pagi tadi Arzio menaruh harap kepada sang Mama. Tapi kenapa? Kenapa semesta menghancurkan harapannya dengan begitu mudah?
Jermi menghela napas panjang. Lelaki itu menepuk pundak Arzio. Melihat wajah Jermi yang hanya diam membuat Arzio semakin yakin, kalau ini bukanlah mimpi. Pertahanan Arzio luruh seketika, dia jatuh bersimpuh di hadapan Jermi seraya memukuli kepalanya sendiri.
Arzio sangat menyesal. Kalau saja siang tadi Arzio tidak nekat meminum obat tidur saat rasa sakit itu hadir kembali dia tidak akan pernah sudi meminumnya, lebih baik dia merasakan sakit agar nanti Arzio bisa pulang tepat jam setengah empat sore.