"𝑨𝒏𝒅𝒂𝒊 𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒏𝒈𝒈𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒊 𝒔𝒊𝒕𝒖𝒂𝒔𝒊 𝒊𝒕𝒖."
: ft. Jeno
Bercerita tentang Arzio dan waktu yang selalu menempatkan dia di posisi yang salah. Menyisakan penyesalan yang tidak berujung ta...
Suara sesegukan masih jelas terdengar menggema di ruangan ini. Beberapa saat yang lalu mereka mendengar penjelasan Arzio.
Baik Delina maupun Deza, mereka merasa sesak mendengarnya. Hati mereka seolah ditumbuk oleh palu besar yang menghancurkan seluruh isinya. Terlebih ketika mereka melihat wajah pucat Arzio yang sempat memamerkan senyum.
Banyak tisu yang berserakan di atas meja. Air mata terus saja mengalir membasahi kulit pipi perempuan paruh baya itu.
Netranya terfokus menatap nanar beberapa botol kapsul yang tersisa sedikit-hampir habis. Delina tidak menyangka Arzio harus menelan banyak butir obat dalam satu tenggak.
"Besok setelah ulangan kita ke rumah sakit ya, Mama antar berobat sekalian konsultasi sama dokter," rujuk Delina seraya mengelus lembut wajah Arzio.
"Ma, Arzio nggak mau."
"Kali ini aja, Mama mohon. Kalau kamu nggak mau itu berarti sama aja kamu nggak menghargai Mama," tandas Delina seraya menekankan kalimat terakhirnya.
"Arzio beneran nggak mau. Hemo mahal, kalau semisal seminggu harus dilakuin dua kali ada berapa banyak biaya yang harus dikeluarin?" imbuhnya.
"Kamu nggak perlu pikirin itu, Mama pasti akan kasih biayanya."
"Dengan cara mama kerja lagi?" Arzio menggeleng. "Mama itu butuh banyak istirahat. Apalagi baru beberapa minggu yang lalu Mama sembuh," pungkasnya.
Lihatlah. Bagaimana bisa Arzio mengatakan hal itu? Padahal disini dia lah yang seharusnya istirahat banyak.
Saat Arzio hendak berbicara lagi, tiba-tiba saja dia merasa sesak disertai rasa mual dan keram di perut. Arzio tertunduk dalam, keningnya mengerut reflek menggigit pelan bibir bagian bawahnya.
Pliss jangan dulu, gue masih ada urusan sama Mama. Gue mohon. Arzio memohon dalam hati.
Namun sayang tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama. Dadanya semakin terasa sesak bukan main.