Seorang gadis berparas ayu dengan rambut hitamnya yang dibiarkan terurai, tampak lesu memerhatikan kegiatan beberapa temannya yang tengah asyik bercengrama sembari menenteng tas besar berjalan menuju pintu lift utama.
Telapak tangan kirinya yang dibalut perban putih menjadi penopang tunggal bagi dagu lancip gadis muda itu yang bersandar di railing balkon. Dari sorot redup di matanya tersirat hilangnya gairah hidup yang mencerahkan hari-hari remaja innocent tersebut.
"Kamu serius gak mau ikut pulang sama mereka?" Setelah menangkap ekpresi kesedihan di raut wajah Helga, Devian yang sedari tadi hanya memerhatikannya dari kejauhan, berangsur menghampiri.
Tanpa menatap lawan bicaranya, Helga memilih untuk menggelengkan kepalanya pelan, sebagai wujud jawaban yang ia berikan. "Buat apa? Toh orangtuaku gak seperti orangtua mereka. Kamu inget 'kan awal kita bertemu dulu?" Helga mengambil jeda pada kalimatnya. Membiarkan ingatan Devian bergerak mundur di waktu ia menyelamatkan Helga yang hendak dibawa Gunderuwo setahun lalu. Saat membawa pulang Helga, tanpa sengaja Devian memang mendengar pertikaian Pasutri itu dari luar rumah. "Mama dan Papa itu akan jauh lebih bahagia kalo gak ada aku di tengah-tengah mereka." sambung Helga seraya menurunkan pandangannya.
"Ehm ..., dari semua Makhluk hidup yang ada di muka Bumi ini, makhluk yang paling unik dan sulit untuk dipelajari adalah Manusia. Kamu tahu kenapa?" Helga menggeleng. "Karena cuma Manusia-lah yang pintar menyembunyikan perasaannya di balik emosi lain."
"Maksudnya?" Helga mengernyit bingung.
"Ada manusia yang mendapat kebahagiaan tapi ekspresi wajahnya justru menampilkan kesedihan. Ada juga manusia yang selalu marah-marah, tapi pada nyatanya itu merupakan bentuk lain dari rasa peduli mereka. Dan mungkin, orangtua kamu adalah salah satu dari mereka. Lain di mulut, lain juga di hati. Sebuas-buasnya seekor harimau, dia tidak akan mungkin memangsa anaknya sendiri." Devian mengeluarkan sebuah permen lolipop dari saku kemeja pendek putihnya, dibuka bungkusnya lalu diberikannya pada Helga. "Coba pikirkan lagi. Jika kamu sudah berubah pikiran, kapan pun itu, aku akan siap mengantarmu pulang." ungkap Devian. Mengacak gemas puncak kepala Helga sedetik sebelum ia beranjak pergi.
Citra yang nampaknya sudah menunggu kembalinya Devian menuju ruang kepala Sekolah itu setengah membungkuk saat Devian melempar senyum ke arahnya. "Tuan Muda, apakah Anda yakin akan membiarkan mereka pulang? Keluar dari wilayah Supranatural High School sama halnya seperti membiarkan mereka dimangsa oleh makhluk ganas di luar sana." cemas Citra yang tanpa diminta segera membukakan pintu ruang kepala sekolah di sampingnya.
"Hal yang sama pun dapat saya rasakan, Tuan. Sebentar lagi hari itu akan tiba, bagaimana jika kejadian mengerikan yang Rose alami juga terulang kembali?" sambung Friedrich yang tengah duduk di kursi kerjanya.
"Baik mereka tetap tinggal di sini ataupun tidak, jika takdir sudah berbicara ..., apa yang bisa kita perbuat? Dulu, bukankah Rosaline juga tetap tinggal di sini? Di Asrama SHS yang selalu aman dan nyaman. Tapi nyatanya kita semua lalai menjaganya, hingga akhirnya dia pun termakan oleh niat bejad Kakakku. Aku hanya ingin memberikan sedikit waktu libur pada mereka, yang mungkin di hari-hari berikutnya tidak bisa mereka dapatkan. Lagipula, sebelum hari itu datang, aku harus menemukan keberadaan Hira terlebih dulu. Ke mana dia dan dengan siapa dia pergi. Aku khawatir, dia mencuri sesuatu dari Sekolah ini."
©Rainsy™
Wanagama. Salah satu hutan lindung yang berada di Gunung Kidul itu terlihat berbeda dari biasanya ketika Dylan CS menjejakkan kaki mereka menapaki tanah berselimut dedaunan kering di sana. Setelah keluar dari pemakaman Belanda yang menjadi satu-satunya akses menuju Supranatural High School, keempat remaja lelaki itu dibuat terkejut kala mendapati hutan yang biasanya sunyi nan penuh akan hal mistis kini dipadati puluhan orang yang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...