Sembari terus menyombongkan dirinya yang tak pernah takut akan hal apapun, Teguh mengambil rute berbeda untuk membawa Dylan kembali ke rumahnya. Jalur pulang yang kini mereka ambil rupanya melewati Tambak Ikan tempat Mbok Sri dan Mas Eko memulai bisnis mereka. Suasana di tempat pembudidayaan hewan air tersebut tampak sibuk. Banyak orang berlalu-lalang, keluar masuk area tambak ikan dan lobster yang terbentuk dari kolam buatan tersebut."Keren 'kan, Kak?" Teguh memamerkan pekerjaan sang ayah yang Dylan juga akui kekreatifannya. Dari tempat Dylan berdiri sekarang ini, terlihat betapa luas nan uniknya peternakan hewan air yang mereka buat. Pasalnya, bukan hanya kolam dari terpal saja, yang terbuat dari semen, bahkan keramba jaring apung pun ada. Tergantung jenis ikan apa yang sedang dibudidayakan.
"Kata Ibu, gaji yang Si Mbok hasilkan selama mengabdi untuk keluarga Kakak, Beliau jadikan modal usaha ini." ungkap Teguh membuat Dylan berdecak kagum. Pasalnya, Si Mbok yang selama ini ia kenal begitu kolot, mampu membangun sebuah bisnis di beberapa lokasi berbeda dengan lahan kerja sebesar itu.
"Nah, itu Bapak. Bapak!!" Teguh berteriak kencang, memanggil Mas Eko yang sedang mengawasi aktivitas para pegawainya. Sadar bahwa ada suara anak kecil yang memanggil-manggil namanya, Mas Eko pun menoleh, lalu ikut melambaikan tangan.
Tanpa meminta izin lebih dulu, Teguh langsung menyambar dan menggandeng tangan Dylan untuk diajaknya mendatangi sang ayah yang kini berada di bibir Pantai.
"Teguh? Eh, ada Mas Dylan juga toh. Kalian habis dari mana?"
"Aku habis nganter Kak Dylan buat ziarah ke makam Si Mbok, Pak." jawab Teguh seadanya.
"Usaha Si Mbok cukup maju ya, Mas?" sela Dylan setelah melihat beberapa pekerja bergantian mengambil beragam jenis ikan segar berukuran besar yang dimasukan ke dalam wadah styrofoam.
"Iya, Mas. Alhamdulillah. Semua ini juga gak lepas dari bantuan yang keluarga Mahardika berikan kepada kami. Tugas Si Mbok cuma membuatkan lahan, tugas saya juga cuma menjalankan. Sementara untuk investor dan ide jenis hewan laut apa saja yang akan kami budidayakan, itu sepenuhnya cetusan dari keluarga Mahardika."
Mendengar nama keluarganya disebut, Dylan sontak terkejut. "Maksud Mas Eko, investor bisnis ini orangtua saya?"
Mas Eko mengangguk. "Iya. Memangnya Nyonya Besar dan Juragan gak pernah ngasih tau ke Mas Dylan tentang hal ini?"
Dylan menggelengkan kepalanya linglung. Rupanya keputusan Dylan untuk tinggal dan bersekolah di SHS, cukup mengubah semuanya. Dylan tak pernah tahu bahwa kedua orangtuanya bersedia memberikan modal pada orang-orang biasa seperti Mbok Sri dan anaknya. Karena selama ini, yang Dylan tahu, baik Mahesa ataupun Anggun adalah tipe orang yang sangat pemilih untuk menentukan dengan siapa mereka akan bekerjasama. Jika dirasa akan sangat menguntungkan, mereka pasti langsung tanda tangan kontrak. Namun bila melihat secuil saja gerak-gerik atau isi proposal yang rancu, maka orang tersebut akan di Black list. Setelah sekian lama berpisah, banyak sekali kejutan yang membuat pemuda itu semakin bangga pada orangtua berikut Si Mbok yang mengasuhnya.
"Papa dan Mama Mas Dylan ini adalah orang yang paling baik yang pernah saya temui. Dan berusaha untuk terus memajukan usaha budidaya hewan laut ini adalah bentuk lain dari abdi saya. Sekarang, tempat inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi keluarga kami. Mudah-mudahan saja, dengan bantuan yang Juragan Mahesa beri, bisa mempeluas pasar kami." beber Mas Eko bercita-cita.
Lain halnya dengan Dylan yang dibuat terkesima, Teguh yang mendengarkan cerita tersebut justru tampak kebosanan. Bocah lelaki itu berulang kali meminta ayahnya untuk pulang bersama karena hari mulai petang. Belum sempat Mas Eko mengiyakan ajakan putranya, seorang pegawai sudah lebih dulu berlari-lari menghampiri Mas Eko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...