Di dalam sebuah kamar yang gelap, nyala ketiga belas lilin yang membentuk sebuah pentagram mulai kacau. Api kecil yang menerangi kamar itu bergerak tak beraturan seakan terkena tiupan angin besar, padahal tempat itu tidak memiliki ventilasi udara sama sekali. Suara geraman sesosok makhluk mengerikan yang masih menyesap kuat darah korban menggunakan gigi taringnya terdengar memenuhi seisi kamar. Tak ada yang berubah di tempat itu, Devian masih pasrah menjadikan tubuhnya sebagai makanan untuk iblis yang menguasai Helga.
"Dev, darahmu begitu lezat. Aku tak bisa menghentikannya. Aku ingin darahmu lebih banyak lagi." Helga yang dalam kendali iblis hitam dalam tubuhnya, menekan kuat sebelah tangan Devian saat tangan itu bergerak memberikan perlawanan, ketika hisapannya terasa begitu menyakitkan bagi Devian. Gigi taring yang Helga tancapkan di leher Devian semakin di perdalam, seolah dengan cara itu Helga ingin memberitahu bahwa saat ini tak ada yang mampu menyelamatkan hidup Devian kecuali Helga sendiri yang menginginkannya.
"Apa yang kau makan selama ini, Dev? Kenapa darahmu bisa seenak ini? Darahmu ... darahmu terasa memanas dalam jantungku, membuat tubuhku seolah terbakar."
Devian menarik satu sudut bibirnya tinggi mendengar omongan iblis itu. "Kau memang terbakar, Nona."
Pupil mata Helga membesar setelah Devian berbicara seperti itu. Ia kemudian menarik keluar taringnya, mengubah posisinya menjadi duduk namun masih di atas perut Devian, lalu menatap kedua telapak tangannya yang memanas dengan rasa keheranan. "Apa maksudmu, Dev?"
Tanpa perlu Devian terangkan maksud dari perkataannya, api yang berasal dari punggung tangan dan juga kaki Helga tiba-tiba saja merambat naik, menelusuri setiap inci tubuh Helga yang kini bagaikan selembar kertas yang dilalap kobaran api.
Dalam hitungan detik saja, sekujur tubuh iblis hitam dalam diri Helga telah terbakar sempurna. Berubah wujud menjadi kepulan asap hitam yang membumbung di atas kepala Helga. Lengkingan suara sang iblis yang menjerit kesakitan perlahan memudar, seiring dengan asap hitam itu yang berangsur lenyap dari pandangan mata. Tubuh Helga yang kembali normal selepas kepergian iblis itu, terkulai ambruk di atas tubuh Devian.
"Helga, Helga?" Devian berusaha menyadarkan gadis berparas ayu di atasnya. Namun karena Helga tak menunjukan respon, Devian pun memilih untuk berguling ke tengah ranjang. Mengubah posisinya menjadi orang yang berada di atas tubuh Helga dengan kedua siku yang ia gunakan untuk menopang bobot tubuhnya. Devian memandangi wajah Helga yang sudah bersih dari akar hitam itu lama, fokus matanya meniti setiap jengkal kesempurnaan di wajah Helga. Satu tangan Devian bergerak membelai kulit wajah Helga yang lembut, alis dan kelopak mata yang indah, hidung yang mancung dan juga ... bibir yang manis.
Hm, manis?
Jemari Devian berhenti bergerak tepat di atas bibir Helga yang masih terdapat noda darah miliknya. Menghapus lelehan darah di sudut bibir Helga menggunakan ibu jarinya, kemudian mendekatkan wajahnya pada Helga sedikit demi sedikit.
"Tuan?"
Devian mendesah kecewa, dengan menjatuhkan dahinya hingga membentur kening Helga pelan. Pemuda lolipop itu menoleh ke samping dan mendapati makhluk astral berjubah putih yang menjadi bayangannya sudah berdiri tegap memerhatikannya.
"Howaito, kau!" umpatan yang akan Devian lontarkan tertahan, setelah menyadari sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi jika teman gaibnya itu tidak muncul tepat waktu. Devian menarik napasnya panjang, kemudian merangkak turun untuk menarik selimut guna menutupi tubuh Helga yang masih pingsan.
"Apa yang tadi akan Tuan lakukan padanya? Bukankah mencuri sesuatu dari orang lain tanpa disadari oleh orang tersebut itu dilarang?"
"Mencuri?" Devian berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Siapa yang mencuri dan apa yang dicuri?" imbuh Devian dengan memasang wajah polosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
TerrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...