Santet

3 0 0
                                    

Rosmala dibuat terkejut saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa dari tusuk konde yang Helga hancurkan menggunakan sebuah batu itu mengepulkan sebuah asap berwarna hitam. Kedua tangannya yang gemetaran, Rosmala gunakan untuk menutupi mulutnya yang masih menganga tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Untuk kali pertama. Rosmala yang selalu dicekoki Pak Wijaya yang mengatakan bahwa hal gaib itu tidak ada, merupakan kebohongan besar. Belum sempat keterkejutannya sirna, suara jerit kesakitan yang berasal dari dalam rumah menggema menyebar lantang sampai ke telinga Ibu satu anak tersebut.

"Mbak! Mbak'e, Mas Wijaya itu! Ayo, Mbak! Cepet datengin Bojomu. Tingkahnya udah kayak kambing kurban yang disembelih!" Dengan wajah paniknya, Arnold yang menyusul Sang Kakak sampai lari tergopoh-gopoh mendatangi tempat di mana Helga berada. Mendengar hal itu, Rosmala pun beringsut masuk ke dalam rumah. Sementara Arnold yang hendak mengekor di belakang Kakak Perempuannya itu justru dijegal langkahnya.

"Bantu aku dulu, Paman. Aku butuh air satu ember besar dan tujuh daun kelor." pinta Helga yang malah dianggap sudah tak memedulikan Pak Wijaya lagi sebagai Ayahnya.

"Heran, Paman ini sama kamu, Hel. Tengok dulu keadaan Ayahmu itu loh. Beliau lagi kayak orang sekarat gitu di dalam. Kok kamu malah  sibuk ngeracik ramuan sih? Pake minta Paman buat bantuin cari daun kelor segala lagi. Kamu udah bener-bener apatis ya sama Bapakmu itu?"

"Ayah tidak apa-apa. Itu hanya efek dari  terlepasnya jin dari tubuh Ayah. Justru apa yang aku minta tadi adalah cara supaya jin kiriman itu tidak bisa kembali lagi ke dalam tubuh Ayah. Aku harus cepat membuat penangkalnya." papar Helga melerai kesalahpahaman yang terjadi.

"Ooh ..., ngomong dong dari tadi. Tapi hari gini nyari daun kelor di mana coba? Daun kelor 'kan gak sepopuler daun lidah mertua yang banyak orang pelihara di pekarangan rumahnya."

"Eyang punya pohonnya, kamu bisa ambil daun kelor sebanyak yang kamu mau di sudut belakang rumah Eyang." Kemunculan Eyang Fatah dari pintu belakang yang memberitahukan lokasi di mana Arnold bisa mendapatkan daun moringa itu, menjadi sebuah perintah yang langsung jejaka 27 Tahun laksanakan.

Dengan langkah tergesa-gesa Arnold menyambangi pekarangan rumah Seorang Kakek yang sekian lama telah hidup sebatang kara tersebut. Meski tinggal di sebuah rumah khas zaman dulu yang jauh dari kata modern, namun semuanya tampak tertata dan terjaga dengan baik. Sepertinya Eyang Fatah merupakan tipikal orang yang mencintai kebersihan. Terlihat dari bagaimana cara Eyang Fatah mengatur tanaman hias dan beberapa perkakas yang ada di luar rumah.

Tak sulit bagi Arnold untuk menemukan pohon dari daun yang Helga inginkan. Pasalnya, daun moringa yang juga memiliki banyak nutrisi jika dikonsumsi tersebut, tampak tumbuh subur di pekarangan belakang rumah Eyang Fatah. Awalnya, Adik sematawayang dari Ibunda Helga tersebut hanya memetik tujuh daun sesuai permintaan keponakannya tersebut, namun karena merasa telalu sedikit jumlahnya, Arnold pun kembali mengambil dalam jumlah lebih banyak.

Sesuai dengan arahan yang Helga beri, Arnold menaburkan tujuh kelopak daun kelor yang diambilnya tadi, di atas ember yang telah diisi dengan air. Dalam diam, Arnold mengamati dengan serius aktivitas Helga yang juga menuangkan beberapa sendok garam ke dalam ember tersebut, merapalkan sebuah doa untuk kemudian menyerahkan ember itu pada Arnold.

"Sirami sekitar rumah dengan air ini sambil membaca surat Al-Fatihah dalam satu tarikan napas."

Sepasang mata bulat Arnold melebar, lalu dengan refleks tangannya bergerak menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Kenapa harus Paman yang melakukannya?"

"Karena harus orang yang tinggal satu rumah dengan Pak Wijaya-lah yang harus melakukannya."

"Kenapa harus aku toh? Dibanding aku, bukannya kamu lebih berhak ya? Kamu ini 'kan anak sematawayangnya. Anak kandung Mas Wijaya."

Supranatural High School [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang