Lolos

2 0 0
                                    

Di bawah Langit yang cerah bertabur gemintang, keempat pemuda dengan perlengkapan seperti hendak mendaki Gunung itu, berlarian. Menerobos masuk ke dalam sebuah bangunan usang yang telah lama terbengkalai. Sorot cahaya lampu senter yang mereka bawa, tampak terombang-ambing ke sana-kemari. Senada dengan cepatnya ritme pergerakan langkah kaki mereka yang netranya begitu cermat mengawasi keadaan sekitar.

Aroma pengap dari lorong gelap yang mereka datangi, memberikan kesan jelas bahwa tak ada pencahayaan alami yang mampu menembus kegelapan dan kelembaban yang bersemayam di dalam lorong tersebut. Sejauh mata memandang, terlihat di ujung lorong, bayangan merah nampak sedang wara-wiri, melayang mondar-mandir di depan sebuah pintu rahasia ; di balik tembok ujung lorong yang bergeser.

Melihat kedatangan sekelompok Manusia yang diharapkannya muncul, Kuntilanak Merah yang begitu waswas pun sontak menghentikan kegiatannya. Mengamati mimik serius dari wajah Dylan, Arthur, Baron juga Ernest yang begitu kental dirasa.

"Apa itu tempatnya?"

Dylan bertanya seraya menunjuk ke arah belakang tubuh salah satu makhluk astral peliharaan Rakta tersebut. Dan Kuntilanak Merah itu pun mengangguk, membenarkan.

Dylan berjalan masuk lebih dulu, disusul Arthur, kemudian Baron yang mengekor di belakangnya. Namun ketika Ernest hendak mengikuti langkah ketiga temannya, sosok hantu wanita tersebut lebih dulu menahan pergelangan tangan pemuda sipit itu.

"Terima kasih, Kak. Sudah mau percaya padaku." tuturnya lirih merasa tersentuh  karena Ernest benar-benar menepati janjinya untuk datang kembali bersama ketiga karibnya ke dalam gedung tua tersebut.

Tak ingin kebaikannya salah diartikan oleh makhluk gaib yang dikenal sangat setia terhadap pasangannya itu, Ernest pun membuat alasan, "Ini bukan buat lo. Ini demi sahabat kita, Helga."

Mendengar jawaban itu, jemari Kuntilanak Merah yang semula tertaut di pergelangan tangan Ernest pun terlepas.
"Tunggu, Kak. Ada satu hal lagi yang ingin kuberitahukan padamu."

Ernest yang hendak menyelusup masuk ke balik dinding yang seperempatnya telah terbuka itu pun menoleh. "Apa?"

"Mungkin Helga yang nanti kalian temui di dalam sana memiliki wujud yang berbeda. Tapi percayalah, itu Helga dengan kutukan hitamnya yang sedang mencoba menguasai sepenuhnya tubuh gadis itu. Bangunkan Helga yang sesungguhnya dari Alam bawah sadarnya lebih dulu, baru kalian bisa membawanya pergi dari tempat ini. Dan ..., tolong, jika nanti aku berubah lagi, maka bunuh saja aku."

DEG!

Ernest membulatkan matanya lebar, setelah mendengar kalimat terakhir yang 'Hira' utarakan. Pemuda etnis Tionghoa itu sungguh tak menyangka, kenapa Miss Kunti bisa berpikir jauh seperti itu. Memangnya bahaya seperti apa yang harus Ernest dan kawan-kawannya lalui sampai Kuntilanak Merah itu menyarankan untuk membunuhnya?

Tak ingin keterkejutannya merusak konsentrasi untuk menyelamatkan Helga  yang sudah ia bangun segenap jiwa, Ernest pun memilih untuk mengiyakan saja semua perkataan Kuntilanak Merah tadi. Kemudian memilih untuk menyusul Baron dan yang lainnya masuk ke dalam.

Kepulan aroma khas dari kemenyan yang dibakar, merebak menyambut kedatangan Dylan CS. Melihat setiap sudut ruangan terdapat lilin yang menyala, juga penuhnya sebuah meja yang diisi dengan berbagai macam jenis sesajen itu, ibarat sajian pesta makan malam yang akan segera terselenggara.

"Apa ini?" Baron mengendus sebuah cangkir dari tanah liat di atas meja yang berisi cairan berwarna merah.

"Wueekk ...!" Lidah Pemuda bongsor itu refleks terjulur keluar saat mencium aroma anyir dari cairan tersebut. "Ini darah ya?!" ungkapnya kemudian seraya menunjukannya pada Dylan.

Supranatural High School [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang