Kuncoro yang menjerit-jerit di pinggir jalan Desa, dalam sekejap menjadi tontonan warga. Nyeri perih pada akar hitam yang menjalar memenuhi tangan kiri yang seolah mengikatnya kencang, dan mengiris perlahan demi perlahan urat juga sendinya itu, menjadi pemandangan ngeri yang enggan para pengguna jalan untuk lewatkan. Dibanding rasa iba ingin membantu, sebagian besar dari mereka cenderung lebih penasaran akan alasan Kuncoro bertingkah seperti layaknya orang kesurupan tersebut.
Bukan tak ada yang ingin menolong. Kuncoro sendiri-lah yang susah untuk diajak bicara apalagi ditanyai perihal penyebab dirinya berperilaku aneh seperti itu. Aksinya yang bahkan sampai berguling-guling di tanah kerikil tersebut, membuat para warga semakin keheranan saja. Pasalnya, lelaki itu terus berteriak kesakitan, namun jika dilihat secara seksama, tak ada satupun luka atau darah yang tercetak menodai tubuh maupun pakaiannya.
Sementara itu di seberang jalan sana. Tepatnya di rumah kediaman keluarga Wijaya. Arnold yang tampak letih setelah pulang bekerja, ditahan tubuhnya untuk tidak sampai menyentuh kasur yang hendak ia gunakan untuk merebahkan diri di kamar pribadinya.
"Ck! Mbak ini kenapa sih? Biarin aja toh aku istirahat. Aku ini capek, Mbak!" protes Arnold ngambek atas aksi Rosmala yang masih menahan bahunya tersebut.
"Kamu lupa ya?! Helga 'kan kemarin bilang supaya kita untuk beberapa waktu ke depan jangan dulu tidur di kasur. Katanya cara itu ampuh buat kita terhindar dari serangan teluh dan santet. Kalau kamu capek pengen istirahat, ya udah sana gelar tikar di lantai."
"Astaga!" Arnold mengacak rambutnya sendiri frustasi. "Helga lagi, Helga lagi. Kenapa toh harus dilarang tidur di kasur? Padahal 'kan enak tidur di tempat yang empuk!" protesnya lagi, merasa kesal atas peraturan yang Helga terapkan demi menjaga keamanan seisi penghuni rumah.
"Yeee ..., kamu ini dibilangin malah ngeyel. Semua ini demi keselamatan kita." Melihat tingkah adik lelakinya yang masih kekanakan itu, Rosmala jadi terpancing emosinya. "Tapi yo wes. Ora opo-opo. Kalau kamu mau tidur di kasur yang empuk, ya udah. Silakan! Mbak ndak akan lagi ngelarang. Tapi ingat satu hal, saat bangun tidur nanti dan tau-tau perutmu membuncit, lalu kamu muntahin paku ataupun belatung, jangan minta tolong sama Mbak apalagi Helga, yo?"
Arnold dibuat mendelik mendengar nada ancaman dalam kalimat terakhir yang Kakaknya lontarkan. Bisa-bisanya Sang Kakak mendoakan hal itu terjadi pada adiknya sendiri. Melihat Rosmala melengos keluar dari kamarnya, Arnold memajukan bibirnya sebal.
"Nasib-nasib. Mau istirahat aja harus seribet ini." oceh Arnold yang masih dengan pakaian kerja lengkapnya, memutuskan untuk mengambil sebuah gulungan tikar dari atas lemari. Kemudian memasangnya tepat di bawah ranjang tempat tidurnya yang kosong. Belum sempat Arnold merebahkan tubuhnya di atas matras tersebut, suara bising yang berasal dari luar sana, sudah lebih dulu menggugah rasa penasarannya. "Ada apa itu ya? Ada kecelakaan atau gimana?" celetuknya seraya menjulurkan lehernya tinggi untuk menerawang keadaan di luar rumah, dari balik jendela kamarnya.
"Jadi kamu pelakunya, Kun? Kamu yang sudah memfitnah Wijaya dan menyebabkan keonaran di Kampung kita?!" ucapan yang terlontar dari mulut Eyang Fatah ; yang baru saja datang ikut berbaur dalam kerumunan warga yang tengah menonton aksi Kuncoro yang terus berteriak meronta-ronta itu, berhasil mengundang keterkejutan semua orang yang ada di sekitarnya.
Karena penasaran ingin mengetahui alasan kenapa Sesepuh Desa yang paling dihormati itu membuat statment tersebut, salah seorang warga pun bertanya, "Bagaimana Eyang bisa tahu kalau Pak Kuncoro itu orang yang meneluh Pak Wijaya?"
"Lihat baik-baik. Kalian opo ndak mengamati dengan benar? Kuncoro punya borok yang sama kayak apa yang Wijaya punya ditubuhnya!" ungkap Eyang Fatah menunjuk lengan dan kaki Kuncoro yang entah sejak kapan mulai terlihat bermunculan luka seperti bisul yang langsung pecah dan bernanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...