Dia Telah Kembali

80 1 0
                                    

Pintu sebuah ruangan dibuka lebar oleh Sonita. Dengan wajah datarnya, ia mempersilakan Helga untuk memasuki ruangan tersebut, yang tidak lain tidak bukan merupakan kamar barunya.

Dengan kedua tangan yang masih ia kaitkan pada sabuk tas ransel yang masih digendongnya, Helga mulai menyapu setiap benda yang ada di sana dengan matanya. Satu meja belajar berada tepat di samping pintu masuk. Sedangkan posisi dua meja belajar lainnya menghadap pada sepasang jendela yang berada di kiri dan kanan pintu masuk, dengan tiga buah ranjang kayu yang diletakkan tepat di tengah-tengah ruangan.

"Beristirahatlah, sebelum ujian terakhirmu dilaksanakan."

Gerakan kepala Helga yang mengangguk patuh, mengiringi langkah Sonita yang berangsur pergi setelah menutup pintu kamar Helga. Gadis berwajah tirus itu menghela napasnya panjang, melepas lalu meletakkan tas ranselnya di atas tempat tidur yang berada di sebelah kiri. Kemudian mulai mengeluarkan satu demi satu barang-barang bawaannya. Sebuah lemari pakaian juga sudah tersedia di sana, dengan letaknya yang berada di samping tiap meja belajar di kamar itu.

Di tengah kesibukan Helga yang sedang merapikan barang-barangnya di dalam lemari, mendadak angin kencang berembus. Menjebol rapatnya daun jendela di samping tempat Helga berdiri, hingga menerbangkan gorden bermotif garis-garis yang menjadi tirainya. Gadis bermata lentik itu menghentikan kegiatannya sejenak, beralih menuju jendela yang terbuka dengan bulan purnama di tengah hutan yang menjadi panoramanya. Helga tersenyum senang melihat langit malam ini begitu cerah, lantas menggunakan sepasang tangannya untuk meraih ujung bingkai jendela yang hendak ia tutup. Bersamaan dengan aktivitas Helga di lantai atas yang tengah mengunci kembali jendela kamarnya, seorang pria yang menggunakan jubah hitam muncul dari dalam hutan. Dengan tudung yang menutupi wajahnya, pria misterius itu ikut tersenyum memerhatikan Helga yang ia tatap intens dari bawah sana.

Sementara itu di asrama lelaki. Ernest dan Baron yang kebetulan menjadi teman sekamar, tampak sedang dilanda kecemasan. Kedua pemuda itu duduk di atas sebuah tempat tidur dengan posisi yang saling memunggungi.

"Bar, lo udah liat sesuatu yang aneh belon setelah mata batin lo dibuka?" suara Ernest yang terdengar bergetar memecah keheningan ruangan itu.

Sembari menggigiti ujung bantal yang ia peluk, Baron terus menugaskan netranya untuk bersikap waspada. Kalau-kalau sesuatu, tiba-tiba saja menembus tembok atau jatuh dari atap kamarnya. "Gu-gue belon lihat apa pun tuh. Lo sendiri gimana?" balas remaja bertubuh bongsor itu membalikan pertanyaan.

"Kalo gue udah lihat sesuatu, pasti gue udah teriak kejer-kejer dari tadi," timpal Ernest masuk akal. "Eh, tapi ... kenapa juga sih syarat terakhir jadi murid SHS-nya harus kayak gini? Apa gak cukup kita sampe mules-mules gegara diteror hantu penghuni hutan tadi? Teror senyeremin itu aja mata batin kita belon dibuka, lho. Terus bakal seserem apa teror yang harus kita lewatin setelah mata batin kita dibuka kayak gini?" lanjut Ernest yang kembali dibuat merinding mengingat betapa menyeramkannya hantu-hantu yang dia lihat di hutan beberapa waktu lalu.

Baron menggedikkan bahunya. "Nest, menurut lo ... kali ini, itu hantu bakal nongol dari mana ya? Dari kolong ranjang, jendela, dari dalem lemari apa langsung ngejatuhin kita dari atas?"

Belum sempat Ernest menjawab celotehan temannya itu, sebuah suara tanpa wujud tiba-tiba saja menggema dalam ruangan itu. Sebuah suara yang mengatakan bahwa ia akan muncul dari balik pintu.

CKLEK

Arah mata Baron dan Ernest langsung tertuju pada kenop pintu kayu yang kini mulai bergerak-gerak. Detak jantung mereka mulai tak beraturan, membayangkan sengeri apa wajah hantu yang akan menyambangi kamar mereka. Disusul lenyapnya suara misterius itu, pergerakan knop pintu pun semakin keras.

Supranatural High School [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang