Kuntilanak Merah

5 0 0
                                    

"Selagi cahayanya masih ada. Ayo masuk ke dalam sumur! Kita tidak punya waktu untuk meladeni mereka semua!" Yardan memberi intruksi sebelum dirinya  melompat masuk ke dalam sumur.

Hal itu langsung dipatuhi oleh Rucita, Aiden dan Raga yang menyusul masuk. Namun ketika Dylan hendak mengikuti Seniornya tersebut, Arthur justru menahannya.

"Apa lo yakin ini aman?" tanya remaja lelaki itu dengan mimik gusar tercetak jelas di wajahnya yang  rupawan.

Dylan mendesah. "Lo pikir kalo kita tetep di sini, kita bakal aman gitu? Dari semenjak kita masuk SHS, gak ada tempat yang benar-benar aman buat kita." tuturnya masuk akal.

"Itu dia pokok masalahnya, Dy. Gue takut kita cuma dimanfaatin sama pihak SHS."

Dylan menautkan sepasang alis tebalnya, bingung. "Dimanfaatin gimana sih maksud lo?"

"Dalam penerawangan gue, jubah  yang dipake sosok yang nyulik Helga dan jubah yang Pak Kuncoro pake itu, adalah salah satu seragam SHS angkatan Tahun pertama, Dy! Ada logo sekolah kita yang dirajut di sana! Gak mungkin 'kan sembarang orang bisa milikin dan make jubah yang merupakan seragam sekolah kita, kalo itu orang ..., sebelumnya gak ada kaitannya dengan sekolah kita." ungkap Arthur menyatakan analisanya. "Apa lo gak curiga? Apa lo gak punya pemikiran lain tentang SHS yang begitu gigih mengistimewakan Helga?"

"Maksud lo apaan sih, Ar?" Dylan berkecak pinggang. Ia dibuat semakin tak mengerti dengan sikap dan pola pikir Arthur yang dianggapnya berubah 180°.

"Siapa tau ini semua cuma perangkap. Siapa tau SHS itu cuma kedok dari Sekte sesat yang Devian dan guru-guru kita dirikan. Bisa juga 'kan? Dan Helga. Mungkin Helga berikut juga kita, adalah tumbal yang sengaja mereka jebak dengan cara kayak gini."

BUGH!

Sebuah bogem mentah tiba-tiba saja melesat cepat, menghantam keras pipi bagian kanan Arthur.

Peristiwa pemukulan yang berlangsung bak kilatan petir yang begitu singkat itu sampai membuat Ernest dan Baron yang berada di sana hanya dapat membelalakan mata mereka lebar-lebar, tanpa melakukan apapun. Beberapa detik bak sepasang manekin, Kesadaran Duo Curut itu akhirnya kembali ; setelah Arthur mendesis kesakitan, kala mengetahui sudut pipinya telah memiliki luka memar. 

"Eh, Anjiir! Nyadar dong, lo! Ini bukan waktunya mikir yang nggak-nggak tentang SHS!" sembur Dylan dengan mata berapi-api.

Tak ingin hal buruk kembali terjadi, Baron bergegas menarik tubuh Dylan agar menjauh dari Arthur.

"Yang penting sekarang itu keselamatan Helga! Nyawa Helga. Soal SHS sesat atau nggaknya, itu urusan belakangan! Bisa kita bahas nanti." imbuh Dylan masih dengan intonasi suaranya yang tinggi.

"Nyawa Helga? Bisa lo ya, mikirin keselamatan dan nyawa orang lain. Tapi gimana dengan nyawa lo sendiri? Nyawa gue atau nyawa Ernest juga Baron, huh?! Apa lo pikirin juga? Kita ini sahabat-sahabat elo, Dy! Kita Sohib lo! Apa lo rela nukar nyawa kita demi keselamatan Helga?!"

Kalimat balasan yang Arthur lempar sebenarnya membuat Dylan semakin tersulut emosinya, namun ucapan lirih Baron yang memintanya untuk beristighfar cukup berhasil mendinginkan isi kepala Dylan yang semula seperti air panas yang mendidih.

Sejenak, Dylan merenung. Kemarahan yang terpancar dari mata coklat milik Dylan perlahan meredup. Kini tatapannya berubah nanar, memerhatikan satu per satu wajah teman baiknya itu.

Baron, Si Bongsor Preman Sekolah. 

Ernest, Si Penakut bermata sipit.

Dan ...,

Arthur, Si Playboy yang malah takut jatuh cinta.

Mungkin benar apa yang Arthur katakan. Seharusnya Dylan tidak perlu sebegitunya, sampai tega dan tak memedulikan keselamatan  nyawa ketiga sahabatnya itu hanya demi menyelamatkan Helga.

Supranatural High School [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang