Sebuah ruangan yang gelap gulita, baru saja dibuka pintunya oleh seseorang. Pancaran cahaya putih yang berpendar dari arah luar, mampu memantulkan bayangan dari orang tersebut yang merupakan seorang perempuan. Jemari kurusnya bergerak meraba stop kontak yang berada di samping pintu, untuk menyalakan penerang dalam kamar putri sematawayangnya tersebut.
Setelah lampu menyala, kini nampaklah wajah sendu dari wanita berusia hampir separuh abad itu, menatap kosong pada sebuah ranjang yang tertata rapi dan sepi. Dengan langkah terhuyung-huyung, wanita itu bergerak semakin masuk ke dalam ruangan yang identik dengan warna krem tersebut. Lalu duduk di tepi ranjang yang menjadi tempat anak tunggalnya itu biasa beristirahat.
"Helga ...." Rosmala berucap lirih. Memanggil nama putrinya dengan penuh kerinduan. Mendekap erat sebuah boneka Beruang coklat berukuran sedang, yang kerap dibawa ke mana pun anak gadisnya pergi.
Masih teringat dengan jelas perkataan Yardan ; salah satu guru di SHS yang menuturkan bahwa kemungkinan besar, Helga tengah disandera. Dan orang yang menculiknya bukanlah orang biasa. Melainkan seseorang pengabdi Iblis yang begitu terobsesi pada kekekalan hidup.
"Kenapa harus Helga? Kenapa hanya Putriku yang Iblis itu incar?"
"Karena hanya Helga, Sang pemilik hal istimewa yang sangat ingin Iblis itu kuasai. Dan tujuan sebenarnya kami mengundang Helga agar masuk serta bersekolah di SHS adalah untuk menjaga dan memberi bekal, jika suatu saat Helga harus berhadapan langsung dengan Sang Iblis sesat itu sendirian."
Hati orangtua mana yang tidak runtuh mendengar hal itu? Ketika bahaya datang merenggut kehadiran putrinya, Rosmala sebagai Ibu kandungnya tak mampu melakukan apapun. Ia hanya dapat memangis dan meratapi kemalangan yang kapan saja bisa benar-benar merenggut separuh napasnya itu. Ini salahnya. Salah Rosmala yang sejak dulu, meremehkan semua keluhan Helga tentang dia sewaktu kecil yang kerap dihantui mimpi buruk akan kemunculan sesosok hantu dengan sekujur tubuhnya yang dipenuhi akar hitam. Hantu itu berkata bahwa ia akan merampas jiwa Helga. Namun bodohnya, Rosmala tidak menggubrisnya. Mengabaikannya dan menganggap Helga terlalu imajinatif.
Dan ketika Helga berusia tiga belas tahun, ia justru menjebloskan Helga masuk ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Padahal kala itu, sebenarnya Helga tengah berusaha menyesuaikan diri, terbiasa dengan Dunia baru yang kali pertama dilihatnya.
Gila.
Kurang waras.
Gangguan Jiwa.Kata-kata jahat itu sering terlontar dari mulut Rosmala ketika Helga tiba-tiba saja mengamuk, bertingkah yang tak sewajarnya, dan kadang berbicara sendirian.
Satu bulir likuid bening menetes jatuh dari pelupuk mata Rosmala ke atas lipatan selimut tebal dengan aksen bunga sebagai motifnya. Penyesalan kini memenuhi rongga kosong di dadanya. Setelah Helga menghilang, barulah Wanita itu merasakannya. Maaf yang tak terjawab, juga kerinduan yang tak terbalas. Hatinya perih. Hatinya terluka. Jika saja bisa, ingin rasanya Rosmala memutar waktu kembali di saat awal semua keanehan itu pertama muncul pada diri Helga.
Berbanding terbalik dengan istrinya yang menjadi lemah. Setelah mendengar kabar tersebut, Wijaya yang masih dalam masa pemulihan setelah sembuh dari ulah tangan jahil seorang Dukun itu, justru dibuat kembali bugar. Demi untuk turun langsung mencari tahu keberadaan dan keadaan putrinya saat ini, Wijaya dengan masih dikawal oleh adik iparnya tersebut memutuskan untuk ikut serta bersama Yardan dan beberapa anak didiknya guna memastikan sesuatu di tempat mantan sahabatnya, Kuncoro di kebumikan.
Sembari terus memikirkan kejadian ganjil yang mau tak mau harus ditelannya bulat-bulat, Wijaya tampak masih sulit menerima fakta, bahwa seseorang yang telah mati bisa muncul dengan wujud nyata dan membawa pergi Helga dari rumah kediamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...