Mobil sedan warna merah yang Baron kemudikan, melaju dengan kecepatan sedang. Membelah lengangnya jalan raya yang terkesan lebih sepi dari biasanya. Di kursi belakang, Ernest yang duduk bersama Arthur masih terfokus memandangi secarik kertas yang diapit oleh kedua jemari tangannya. Kertas selebaran dari Supranatural High School yang meminta secara resmi agar Ernest dapat bergabung bersama mereka.
"Ck! Nih orang masih aja mantengin selebaran gak jelas kayak gitu. Udah, dibuang aja kenapa sih?" celetuk Arthur hendak merampas kertas itu dari tangan Ernest. Namun pemuda berdarah Tionghoa itu melarangnya, dengan alasan ... dalam selebaran itu tercantum namanya. Daripada hanya kertas selebaran, pamflet itu lebih mirip seperti surat undangan yang dikhususkan untuk Ernest.
"Eh, jangan! Lo gak tahu sih, ini kertas bisa jadi satu-satunya karcis buat nyembuhin parnonya gue tau! Menurut Devian nih ya, kalo gue masuk ke sana, maka rasa takut gue terhadap para makhluk astral itu bisa diobati. Atau paling nggak, gue bisa beranian dikitlah setelah sekolah di sana. Gue tertarik sih pengen masuk ke SHS ini, tapi ... nama sekolahnya itu loh, Bro! Masih bikin gue merinding," ungkap pemuda berbibir tipis itu menyatakan ketertarikannya.
Dari depan, Baron yang sedari tadi fokus mengemudi pun ikut menimpali. "Halah ... namanya aja Supranatural High School, Bro! Ya udah pasti di dalemnya Mbah-Mbah Dukun semua yang sekolah, ya nggak sih? Hahaha ...," ledeknya yang disusul gelak tawa oleh Arthur dan cengiran geli oleh Dylan. Ernest yang merasa tersinggung dengan candaan teman satu gengnya itu menghela napasnya berat, kemudian membuang mukanya ke arah jendela mobil yang menunjukan tempat-tempat gelap di sisi jalan raya yang dilalui oleh mobil tersebut.
"Devian itu ... nama cowok yang nolongin lo di Bioskop tadi, bukan sih?" tanya Dylan yang duduk di samping kursi kemudi, membuka suaranya. Setelah tawa meremehkan Baron dan Arthur berangsur hilang.
Malas, Ernest hanya menjawabi dengan sebuah anggukan. Untungnya, waktu itu Dylan tengah memerhatikan kaca spion bagian dalam mobil. Jika tidak, ia tidak akan tahu respon seperti apa yang Ernest berikan untuk menanggapi pertanyaannya. "Emangnya, itu anak punya kemampuan ekstra ya? Kok dia bisa ngobatin lo yang katanya pingsan gara-gara diteror hantu gitu sih?" sambung Dylan yang kali ini menoleh ke belakang, bersama tubuhnya yang sedikit ia miringkan.
"Katanya sih, dia anak indigo gitu. Yang emang sejak lahir udah punya kemampuan supranatural," jawab Ernest merilekskan punggungnya pada sandaran kursi.
"Punya kemampuan supranatural sejak lahir? Wah, jangan-jangan itu cowok panda, juga dukun tuh! Atau bisa jadi dia nipu lo! Hahaha ... Ernest-Ernest, makanya lo jadi orang jangan polos-polos banget kenapa!" sela Baron yang membuat mood Ernest semakin memburuk.
Ernest mendengus sebal. "Semerdeka lo aja deh, Bar! Mau ngomong apa aja terserah! Dari dulu, gue emang selalu kalah kalo ngomong sama lo! Udah ah, gue capek. Gue mau tidur aja," sungut pemuda bermata kecil itu seraya menutupi wajahnya dengan jaket jeans miliknya. Namun belum sempat Ernest memejamkan matanya, sekelebat bayangan putih yang sempat dilihatnya berdiri di pinggir jalan, membuat Ernest kembali menurunkan jaket yang menutupi bagian kepalanya tersebut.
"Tadi, apaan ya?" seloroh pemuda dengan style rambut pendek itu pelan, sembari melongok keluar jendela mobil yang dibukanya.
"Lo lagi ngapain sih, Nest? Buka-buka jendela mobil segala? Udara di luar tuh dingin tau, udah-udah ... tutup lagi gih!" titah Arthur yang mulai terserang kantuk.
"Ta-tapi ... itu, tadi di pinggir jalan ada cewek sendirian doang loh! Mungkin dia lagi nyari angkutan umum kali ya, tapi 'kan ini udah kelewat malem. Bar, Bar! Mending lo puter balik deh, kasian tuh cewek sendirian," pinta Ernest yang malah hendak membuka pintu mobil. Padahal saat itu, kendaraan roda empat yang mereka tumpangi masih sedang melaju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...