Sebuah delman yang tengah meniti jalanan beraspal di Ibukota, tampak berhenti bergerak di pertigaan jalan menuju pemukiman penduduk. Saat memastikan sang penumpang sudah turun dari kendaraan umum yang kerap dijadikan ciri khas jika ingin berjalan-jalan di kota Gudeg tersebut, barulah Sang Kusir mulai memacu kembali kuda peliharaannya.
Pemuda Tionghoa yang baru saja melepas kepergian tumpangannya itu, tampak enggan mengayunkan kakinya maju memasuki sebuah gang menuju rumahnya. Jika saja ada tempat persinggahan lain untuknya pulang, tentu salah satu Siswa SHS itu tidak akan mau untuk menghabiskan masa liburannya di rumah. Namun apalah daya, ia masih anak sekolah yang hidupnya masih ditanggung oleh kedua orangtuanya. Meski enggan, Ernest harus tetap menunjukan batang hidungnya pada ayah dan Ibunya. Paling tidak, hanya untuk sekadar menunjukan rasa hormatnya.
Ernest mendesah pelan ketika mendapati sang Ibu ; Yeyen tengah bergosip dengan para tetangga tepat di depan sebuah gerobak pedagang sayur yang biasa berjualan di sana. Mendengar topik yang mereka bahas adalah prestasi yang diraih oleh anak-anak mereka, Pemuda sipit itu memilih untuk mencari aman. Dengan berpura-pura tak melihat keberadaan mereka, Ernest berjalan menuju rumahnya yang berjarak dua meter dari tukang sayur yang mangkal tersebut.
Sembari menundukan kepalanya, indera rungu Ernest mendengar bahwa Bu Vani baru saja mendaftarkan anaknya di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Tak ingin kalah, Bu Lia juga ikut berseloroh bahwa nanti setelah lulus SMA, Edrick anaknya juga akan dikuliahkan di sana dan akan mengambil jurusan kedokteran.
Merasa impian tetangga samping rumahnya itu terlalu tinggi, Bu Yeyen menegurnya. "Emangnya yakin, Bu? Mau nguliahin Edrick ke fakultas Kedokteran?"
"Lho, emangnya kenapa toh, Bu Yeyen? Suami saya 'kan Direktur di Perusahaan besar, yang gajinya juga besar. Kalo cuma nguliahin anaknya ke fakultas kedokteran, itu mah gampang. Hal yang sepele." celetuk Bu Lia yang disambut anggukan oleh Bu Yeyen, Bu Vani serta Bapak pedagang sayur keliling tersebut.
"Ooh ..., ya kalo soal uang sih, saya gak raguin lagi. Bu Lia itu pasti mampu biayain Edrick kuliah di mana pun. Cuma, yang jadi pertanyaan saya, apa otak Edrick bakal kuat, kuliah di tempat yang setiap harinya harus berkutat dengan rumus juga darah dan hal menjijikan lainnya? Karena setahu saya ..., kata Ernest dulu, waktu SMP, Edrick sering ngeluh sakit kepala saat guru ngasih ujian dadakan. Terus Edrick juga pernah sampe muntah-muntah, mendadak panas dingin badannya saat disuruh ngebedah seekor katak." seloroh Bu Yeyen yang disambut tawa renyah oleh orang-orang yang berkerumun di sana.
Melihat tawa lebar satu persatu lawan bicaranya, mimik wajah Bu Lia mendadak muram, ada rona kesal di parasnya. Namun kala ekor matanya memergoki Ernest yang hendak membuka pintu gerbang rumah dengan mengendap-endap, Bu Lia tersenyum culas. "Eh, Ernest! Baru kelihatan lagi kamu, Nest. Emang sesibuk apa sih sekolah baru kamu itu? Kamu 'kan bukan lagi sekolah Tentara, tapi kok bisa ya hampir satu tahun gak pulang ke rumah?" selorohnya membuat Pemuda berwajah kecil itu mau tak mau memamerkan senyumannya, lantas balik menyapa semua orang dengan membungkukan tubuh kurusnya.
"Iya, Bu. Maklumin aja. Namanya juga Sekolah Asrama. Jadi selain nuntut ilmu buat kepintaran otak, di sana juga saya disibukan menimba ilmu untuk menambah kepintaran hati." sahut Ernest tanpa mengurangi garis lengkung di bibirnya.
"Kalo boleh tau, SHS itu sekolah opo toh? Kok aku baru denger ya? Sayang banget loh. Padahal 'kan waktu SMP, kamu selalu jadi juara. Punya nilai-nilai yang bagus. Tapi kok lanjutin sekolahnya malah di tempat yang gak terkenal. Sekolah kamu bisa ngejamin bikin kamu jadi Dokter atau Pengusaha, ndak?" tanya Bu Lia memancing emosi Bu Yeyen yang lekas menghampiri anaknya, untuk kemudian memintanya segera memasuki pekarangan rumah.
"Sekolah apapun itu, mau terkenal atau tidak, gak akan bisa ngejamin anak didiknya akan selalu menjadi orang sukses, kalo muridnya itu punya sifat pemalas. Tapi Bu Lia gak perlu khawatir, karena dengan melanjutkan pendidikan di tempat saya sekolah saat ini, ke depannya saya pasti akan menjadi orang yang berguna bagi sesama atau bahkan mungkin saya akan bisa menyelamatkan dunia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...