Teror (1)

240 10 3
                                    

Lampu jalanan yang berjarak beberapa meter antara satu dengan lainnya mulai dinyalakan. Seiring dengan terangnya langit hari itu yang kini sudah tertelan oleh gelapnya malam. Jalanan yang tadi sore lengang, mulai kembali dipadati oleh beragam kendaraan bermesin para pegawai kantoran yang baru pulang bekerja. Beberapa ABG 'gaul' yang mengendarai sepeda motor, juga tak luput dari jangkauan mata para penikmat malam di jalan Malioboro, waktu itu. Para pedagang kaki lima yang menjual berbagai jenis makanan, mulai sibuk melayani para pelanggan mereka yang berduyun-duyun singgah untuk makan malam.

Dari beberapa meja sebuah warung lesehan yang terletak di trotoar jalan, salah satu meja yang dihuni oleh empat orang lelaki muda yang mengenakan seragam sekolah, tampak yang paling mencuri perhatian para pelanggan yang datang. Pasalnya, hingga selarut ini ... kenapa keempat murid SMP itu masih berkeliaran di luar? Dengan seragam sekolah penuh corat-coret pula. Padahal pesta kelulusan harusnya sudah berakhir sore tadi.

Salah satu pemuda dari keempat pelajar itu menghentikan acara makannya sejenak, saat menyadari pandangan mata para pengunjung terus tertuju ke meja yang ia dan teman-temannya tempati.

Merasa jengah karena seorang wanita kantoran terus berkasak-kusuk dengan temannya sembari melirik ke arah pemuda berahang lebar itu. Akhirnya pelajar dengan name tag Baron Bagaskara itu, bangkit berdiri. Dari mimik mukanya yang garang, tampak jelas bahwa dia pasti akan menegur kasar dua orang wanita yang menggosipkannya tadi. Oleh sebab itulah Dylan Mahardika, pemuda berbibir penuh yang duduk berseberangan dengannya, langsung menahan kuat satu tangan Baron yang hendak melintas di sampingnya.

"Dy!" pemuda dengan gaya rambut mohawk itu menautkan kedua alis tebalnya, menatap wajah Dylan yang tampak begitu tenang membaca majalah misteri miliknya di atas meja. Padahal, satu tangannya yang sedang memegang pergelangan tangan Baron terasa semakin keras mencengkeram. Seolah dari eratnya cengkeraman tangan itu, Dylan tengah melarang Baron untuk bertindak gegabah, apa lagi kurang ajar terhadap wanita yang usianya jauh lebih tua dari mereka.

Baron mendengus sebal. Mau tidak mau, akhirnya Baron kembali duduk di tempatnya semula dan melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda tadi.

Dylan yang sudah lebih dulu menghabiskan makanan di piringnya, kembali menyesap teh tawar hangat dari gelasnya, kemudian membuka lembar halaman baru dari artikel yang tengah dibacanya.

"Habis ini, rencananya kita mau ke mana, Bro?" tanya Baron membuka obrolan sembari melahap gudeg di piringnya menggunakan kelima jari.

"Ya pulanglah," jawab Ernest Santoso singkat.

Arthur Samuel yang duduk di samping Baron, langsung menatap temannya tajam. "Loh, kok pulang sih? Gak seru banget," keluhnya tampak kecewa.

Dylan yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ya terus kita mau ke mana lagi? Ini udah hampir jam sembilan malam loh, waktunya kita pulang. Gak gerah apa, orang-orang di sini dari tadi 'kan ngeliatin kita mulu," ujar pemuda dengan potongan rambutnya yang sedikit tebal itu, membenahi majalah yang belum selesai dibaca ke dalam tas ransel yang ada di pangkuannya.

Belum sempat buku itu masuk sempurna ke dalam tas Dylan, Baron lebih dulu menarik keluar majalah itu lagi.

"Tunggu-tunggu, gue punya ide! Gimana kalo buat ngerayain kelulusan ini ... kita uji nyali aja?" tukas Baron mengubah majalah di tangannya menjadi pemukul baseball.

Mendengar usulan itu, Ernest yang memang terkenal penakut di sekolahnya, langsung memasang wajah tak suka.

"U-uji nyali? Uji nyali gimana maksud lo? Kayak yang di televisi itu? Gak ah! Gue mau pulang aja!" tolak Ernest mentah-mentah. Bangkit berdiri dari tempatnya bersila tadi dan langsung dihadang oleh tangan Arthur juga Baron yang terjulur panjang di depan dadanya.

Supranatural High School [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang