Di sebuah mata air dengan dasar yang terlihat jelas karena permukaan air tersebut begitu bening, menjadi pusat objek netra Helga melihat kala itu. Kicauan beragam jenis burung yang marak berterbangan di atas pohon, juga embusan angin sepoi-sepoi di sekitar perbukitan yang sedang gadis Introvert itu kunjungi, menjadi tempat healing terbaik bagi Helga yang tampak selalu berwajah masam di Asrama, sepeninggal teman-temannya yang 'Pulang Kampung'.
Ada secerca rasa tenang yang begitu menyegarkan penat di kepala, ketika gadis muda itu menghirup oksigen yang melimpah, begitu dalam.
"Apa yang terlintas dipikiranmu saat kali pertama sampai di tempat ini?" Kemunculan suara seorang Pemuda yang identik dengan permen lolipop di mulutnya tersebut, sedikit mengusik ketenangan dalam batin Helga yang sempat memejamkan mata. Menyadari siapa si empunya suara itu, Helga lekas membuka sepasang mata hazelnya.
"Indah." sahut Helga singkat seraya mengulas senyumnya tipis, menyambut kedatangan sosok yang pasti sempat kalang-kabut mencarinya di Asrama sebelum akhirnya dapat menemukan Helga di salah satu lokasi yang masih berada di dalam lingkungan Sekolah Supranatural High School; yang dipagari sebuah benteng panjang peninggalan zaman perang tersebut.
Devian memerhatikan air muka Helga dengan garis lengkung di wajahnya. Sepertinya, terlalu mengkhawatirkan keadaan Helga yang mungkin akan merasa kesepian tanpa keberadaan teman seangkatannya itu, hanyalah bayangan semu yang menghantui benak Devian saja. Buktinya, menyendiri di tempat menyejukan seperti sekarang ini saja sudah lebih dari cukup untuk melihat ketentraman Helga. "Kamu tahu apa yang harus tempat ini lalui sebelum menjadi indah seperti ini?"
Helga yang sempat mengganti atensinya pada suara derasnya air terjun yang berjarak empat meter dari tempatnya pun, segera menoleh. Menatap intens wajah rupawan Devian yang kini memilih untuk duduk bersisian dengannya. Gadis muda yang tidak banyak bicara itu menggeleng lemah kemudian.
"Longsor. Kebakaran hutan. Banjir bandang. Dan ..., lahar dingin. Semua badai itu menyeramkan. Tapi jika kita tidak memiliki rasa gigih berjuang serta kokoh bertahan yang kuat. Maka kita tidak akan mungkin dipuji hebat ataupun dibilang indah di kemudian hari seperti yang kamu katakan tadi."
Masih dengan aktivitasnya yang sama. Helga semakin dibuat terlena menikmati ciptaan Tuhan yang setampan Devian. Kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung juga tutur bahasanya yang selalu mengandung makna mendalam, cukup mampu menyihir Helga untuk tetap terus terpikat pada pesonanya.
"Kamu tahu? Alam dan manusia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dan jika kita ingin, maka kita juga bisa memanfaatkan energi Alam untuk segala hal."
"Termasuk untuk menyembuhkan kutukanku?"
Ditanyai seperti itu, Devian mengulum bibirnya, untuk kemudian memilih bangkit dari posisinya yang semula duduk di tepi sungai menemani Helga. Kaki panjangnya Devian arahkan menuju bebatuan sungai berukuran besar yang banyak di temukan di pinggiran mata air tersebut. "Ya. Mungkin saja. Jika kamu memercayai itu. Maka sekitar 80% hal itu akan terjadi. Karena keyakinan adalah unsur utama manusia untuk mendapatkan energi positif yang besar." ungkap Devian menjabarkan hal yang sebenarnya masih begitu rumit untuk diketahui hasilnya. "Kamu tahu kenapa dalam series kartun Avatar, Aang mampu mengendalikan beberapa elemen Bumi?"
Helga menggeleng cepat.
"Itu karena Aang memiliki tekad yang suci. Kegigihan dan kekokohannya untuk menyelamatkan banyak orang dari kejahatan, melahirkan energi positif yang mumpuni dalam dirinya. Jika kita bisa mengolahnya, kita pun juga bisa seperti dia." Devian diam sejenak. "Ah, nggak-nggak. Memiliki kemampuan mengendalikan unsur-unsur penting Alam, akan menambah kerakusan dan ketamakan Manusia itu sendiri. Tapi, ya ..., setidaknya, kita bisa menguasai satu elemen yang merupakan weton kelahiran kita menurut primbon Jawa sebagai tameng kita." ralat Devian kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...