Kuncoro Adjie adalah sahabat karib Wijaya sejak mereka mengenyam pendidikan di SMA dulu. Bahkan saking akrab dan cukup banyak memiliki kesamaan baik sifat, sikap maupun saat menentukan pilihan, sewaktu berkuliah pun mereka kerap disebut sebagai kembaran, bayangan, fotokopi'an dan sejenisnya.
Lain halnya dengan Wijaya yang merupakan keturunan dari seorang pendiri sebuah Desa. Kuncoro justru merupakan Cicit dari seorang Saudagar kaya yang tersohor karena kedermawanannya yang kerap membantu kalangan Masyarakat rendah. Sikap welas asih itulah yang sampai saat ini masih membuat Kuncoro masih disegani oleh warga.
Namun, entah bagaimana ceritanya. Ketika bisnis keluarga yang secara estafet diturunkan pada sang ahli waris, di tangan Kuncoro, bisnis yang awalnya besar itu perlahan menciut. Entah karena tidak berbakat dalam mengolahnya atau bagaimana, alih-alih semakin berkembang dan tumbuh. Di tangan Kuncoro, bisnis keluarga yang telah sekian lama dibangun itu justru merosot cepat. Sampai-sampai, Pria yang masih memiliki darah Belanda itu, kini hanya memiliki Sebuah Perkebunan Cabai dan Perkebunan Kopi saja sebagai sumber mata pencahariannya.
Akan tetapi saat ini, kedua lahan itu pun tidak sedang baik-baik saja. Karena menjelang Panen, perkebunan itu mendadak terserang hama. Dan Kuncoro yang sudah kepalang tanggung mendaftarkan diri sebagai Calon Kepala Daerah waktu itu, terpaksa melepas kedua perkebunan tersebut dengan harga murah pada pembeli ; demi keinginannya memiliki modal besar agar tujuannya tercapai.
Mendengar sang suami rela melepas semua peninggalan keluarga demi ambisinya agar menang di Pemilu nanti, cukup menjadi alasan timbulnya percekcokan hebat yang kerap terjadi di dalam rumah tangga Kuncoro. Istrinya yang tidak menyetujui hal itu, sontak menggugat cerai.
"Kalau Papa tidak mau mengundurkan diri dari Pilkades itu, Mama minta cerai! Papa pikir, selama ini kita bisa tinggal di tempat nyaman dan makan makanan enak itu uangnya dari mana? Itu dari hasil panen kebun kita, Pa! Dan sekarang, kebun itu malah Papa jual tanpa sepengetahuan Mama, demi nambahin modal kampanye. Mending menang. Kalo akhirnya Papa kalah, terus nasib kita nanti gimana, Pa? Papa mau kita hidup ngegembel di jalanan?"
"Mbok ya jangan gitu toh, Ma, ngedoa'innya. Aku gak bisa narik kembali namaku yang sudah terdaftar sebagai pesaing Wijaya di Pemilu nanti. Uang dari hasil menjual perkebunan juga sudah kepalang tanggung aku masukan semuanya ke dalam dana kampanye. Ini sudah terlanjur, Ma. Papa perlu uang itu. Jadi Papa mohon, tolong Mama pahamilah posisi Papa ini."
"Ck! Wijaya lagi. Sebangga itu ya kamu jadi pengikutnya Si Jaya? Sejak SMA dulu, Papa terus jadi bayang-bayangnya dia. Saat Wijaya dapat rangking satu, Papa selalu ada di tempat kedua. Saat Jaya ikut lomba, masuk universitas dan bahkan saat Wijaya masukin lamaran kerja di perusahaan kontraktor. Papa selalu ngikutin apa yang Wijaya lakuin. Apa Papa gak bosen niru-niru orang? Apa Papa gak malu dicap sebagai penggemar beratnya Wijaya?! Sadar gak sih, Pa? Kalau Papa itu udah kehilangan jati diri Papa sendiri kalo terus lakuin semua ini!"
"Lha, ini. Kesalahpahaman seperti ini yang perlu Papa lurusin. Sejak dulu, Papa tidak pernah ngikutin semua yang Wijaya lakukan. Itu semua kemauan Papa sendiri. Tapi Dunia malah selalu memihak Wijaya. Mereka selalu milih Wijaya sebagai pemenangnya. Dan Papa? selalu berada di posisi Runner-up. Sejujurnya Papa juga capek, Ma! Papa capek dicap sebagai bayangannya Wijaya. Maka dari itu, saat mendengar Wijaya dicalonkan sebagai kandidat utama Kades di Desa ini, ambisi Papa terbangun. Papa ingin bersaing dengan Jaya lagi. Dan kali ini, Papa tidak akan kalah. Papa ingin menang dan harus menang!"
Menyadari bahwa tekad bulat Kuncoro tak lagi dapat ia goyahkan, wanita yang sudah cukup lama bersabar melihat kelakuan Kuncoro itu jadi semakin yakin, bahwa keberadaannya di dalam hidup Kuncoro tak hanya sekadar sebagai boneka pajangan semata.
Dan seminggu sebelum hari Pemilihan Kepala Desa, wanita yang awalnya begitu setia mendampingi Kuncoro itu pun, akhirnya memilih untuk menggugat cerai serta keluar dari rumah yang telah lama mereka tinggali, meski tanpa kehadiran seorang anak sebagai pelengkap rumah tangga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
TerrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...