Terik mentari telah memudar. Padatnya jalanan kota Sore itu menandakan banyaknya penduduk yang mulai menyudahi kesibukan mereka masing-masing. Kala sang Surya perlahan bergeser ke ufuk Barat, dan lampu jalanan mulai menyala satu persatu, barulah Dylan dengan menggunakan sebuah ojek tiba di depan gerbang rumahnya.
"Wah ..., ini rumahnya ya, Den? Gede bener." celetuk Si Tukang Ojek, berdecak kagum mengamati setiap sudut rumah mewah dengan pintu gerbang yang diukir mengikuti bentuk sebuah mahkota tersebut.
Sembari melepaskan helm yang dikenakannya, Dylan menyunggingkan senyum. "Ini rumah orangtua saya, Pak. Kalo saya sih, jangankan rumah, motor aja belum punya." timpal Dylan membuat Si Tukang Ojek ikut mengulas senyum.
"Ya sama aja toh. Rumah orangtua Aden ya berarti rumah Aden juga. Orangtua Aden kerja juga 'kan hasilnya buat Aden. Demi kenyamanan dan masa depan Aden."
Seakan enggan menjawabi fakta yang terdapat pada kalimat itu, Dylan memilih untuk segera menyerahkan helm yang semula dipakainya, kemudian memberikan beberapa lembar uang bernilai seratus ribuan pada Bapak penjual jasa tersebut.
"Lho? Apa ini, Den? Ongkos yang Aden kasih ini kebanyakan. Jarak antara Pusat kota dengan Kompleks perumahan ini 'kan deket, Den. Moso, Aden ngasihnya lima ratus ribu?"
"Udah, gak apa-apa. Ambil aja lebihnya. Itu rezeki anak Bapak. Sebelum pulang ke rumah, jangan lupa beli mertabak manis buat anak Bapak yang dapet rangking 1 itu ya!" ungkap Dylan tersenyum tulus sedetik sebelum ia masuk ke dalam pelataran rumah besar itu.
"Alhamdulillah ..., matur nuwun sanget, Den!" ucap Tukang Ojek itu kegirangan, sembari menciumi uang kertas dalam genggaman tangannya. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika Si Tukang Ojek menyadari ada sesuatu yang janggal, perlahan senyumnya pun menyusut.
Belum sempat niatnya untuk bertanya dapat tersalurkan, pemuda yang menjadi penumpangnya tadi sudah tak terlihat lagi. "Dari mana ya, Aden itu tau kalo Sisi dapet juara satu di kelasnya? Padahal sepanjang perjalanan tadi kita ndak ngobrol apa-apa. Mana Pemuda itu tau lagi kalo Sisi ngerengek minta dibeliin martabak manis. Tapi yo wes lah. Ini rezeki Bapak soleh. Aku harus cepet-cepet mulih." gumamnya yang lantas bergegas menghidupkan kembali mesin motornya.
©Rainsy™
"Assalamu'alaikum, Mbok?! Aku pulang!" seru Dylan tatkala berjalan mendekati rumah megah bergaya Eropa tempatnya tinggal tersebut.
Bukan tanpa alasan orang yang kali pertama ia sapa adalah Asisten Rumah Tangga yang telah mengabdi lama pada keluarganya. Bukan tanpa alasan kenapa orang pertama yang ia cari ketika tiba di rumah adalah Si Mbok. Karena bagi Dylan, Mbok Sri adalah rumahnya. tempat di mana ia dapat melepaskan semua penat yang memenuhi otaknya. Tempat melepas lelah dari semua aktivitas kesibukannya. Juga tempat di mana ia dapat melepaskan beban yang dipikulnya selama ini.
Karena tak kunjung ada yang menyambut kedatangannya, Dylan pun kembali berseru memanggil nama sosok yang selama ini telah dianggapnya sebagai neneknya sendiri tersebut. "Mbok? Mbok ada di mana? Aku baru nyampe nih. Mbok?!"
Dylan menyapu setiap sudut rumah megah milik orangtuanya itu dengan pandangannya. Meneliti dengan seksama keadaan juga suasana yang tampaknya masih sama dengan saat ia pergi meninggalkannya. Namun mengingat Mbok Sri tak kunjung datang menghampirinya, itu cukup membuat Dylan keheranan. Pasalnya, sejak kecil ..., Mbok Sri selalu tergopoh-gopoh mendatangi dan menyambut kehadiran Dylan ketika pulang dari Sekolah setiap harinya dan mengabaikan pekerjaannya yang lain. Alih-alih segera memasuki rumah kediamannya lewat pintu depan, Dylan justru berinisiatif untuk memeriksa ke halaman belakang dan masuk melewati pintu belakang rumah. Siapa tahu ia dapat menemukan alasan Si Mbok tidak muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
TerrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...