Arthur yang mati-matian melawan sekelompok Kuntilanak merah yang menyerang Baron, dibuat terkejut kala semua makhluk gaib itu menghilang dari pengelihatan matanya dalam sekejap.
"Lho, ke mana perginya mereka semua?" Arthur mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memindai dengan teliti ke mana sosok dedemit itu diduga bersembunyi. Namun meski sudah cukup lama Arthur mencari dan berteriak menantang Jin Wanita itu, tak ada apa pun yang kemudian muncul untuk merespon hardikannya.
"Thur, udahlah. Mungkin Dylan atau Ernest di sana udah berhasil bunuh tuh Kuntilanak yang asli. Mending kita cari mereka sekarang, yuk?" Sembari masih memegangi pundaknya yang sakit, Baron beranjak berdiri.
Melihat kawannya kesusahan, Arthur bergegas membantu dengan mengaitkan satu tangan Baron di lehernya. "Kita pelan-pelan aja ya, jalannya." ucap Arthur penuh perhatian, yang begitu sabar memapah Baron menuju lokasi terang dari sebuah Bukit padang rumput hijau tanpa satupun pepohonan berdaun rindang yang tumbuh di sana.
Bukit yang luasnya bagaikan sebuah lapangan Sepak Bola itu di apit oleh lahan Perkebunan Warga di sisi kiri, sementara sisi kanannya adalah sebuah aliran anak sungai dengan tingkat kebersihan air yang masih sangat jernih.
Tempat itu begitu asri dipandang. Ditambah lagi, suara gemericik air yang mengalun terdengar, benar-benar mendamaikan kerumitan hati dan persoalan Duniawi.
Dari jalanan tanah yang menurun, Arthur dan Baron dapat melihat dengan jelas, Dylan yang tersungkur di tanah kerikil, sedang bersusah payah untuk bangkit berdiri. Mengayunkan tungkainya yang masih gontai untuk kemudian memeluk Helga yang terlihat syok dari belakang. Sedangkan Ernest yang mengubah posisinya menjadi duduk bersimpuh di tanah, tengah memeluk sosok perempuan muda yang sekarat.
Akar hitam yang menyelimuti pasak kayu dalam genggaman tangan yang Helga gunakan untuk menusuk punggung Kuntilanak Merah, seketika menyusut kemudian lenyap bersama guratan akar hitam yang sempat muncul di kedua tangan gadis introvert itu.
"Apa aku membunuhnya? Apa aku yang membunuh Hira?!" Helga menatap kedua telapak tangannya yang bergetar. Kemudian beralih menatap seorang gadis yang tengah sekarat dalam pelukan Ernest.
Ernest sangat syok, dijatuhi sosok Kuntilanak Merah yang saat ini telah merubah wujud menjadi seorang Siswi Pelajar yang dikenalnya sebagai Hira. Akal sehat Ernest tak mampu menalar dengan benar, kenapa sosok hantu itu bisa menjelma menjadi Manusia yang disukainya, di saat-saat terakhir.
Kabut bening bersarang di pelupuk mata Hira yang kini terbaring lemah dalam rengkuhan pangkuan Ernest. Jemari kurus Hira tampak bergerak pelan membelai tiap jengkal wajah tirus Ernest yang ditatapnya intens. Bibirnya yang gemetar dengan mulut yang terbuka tanpa mengeluarkan kata, menandakan seberapa kritis kondisinya saat ini. Gadis mungil yang disukai karena sifat cerianya itu, kini sedang menyumbang duka pada diri Ernest yang hanya diam terpaku ; membiarkan Hira membelai hidungnya yang mancung.
"K-kak Ernest, ma-maaf ...."
Sesal adalah kata paling tepat yang mampu menggambarkan tentang perasaan Ernest saat ini. Meski hanya sekadar rasa suka yang tumbuh, namun itu adalah perasaan tulus yang kali pertama terlahir untuk orang lain selain keluarganya. Dan Ernest sangat menyesali waktu yang tak mampu membuatnya berucap jujur, bahwa ia memang memiliki perasaan lebih pada Hira yang ternyata adalah sesosok jin perempuan, pesuruh Rakta.
Sekarang, saat melihat Hira tewas di depan mata kepalanya sendiri, Ernest menjadi dilema. Haruskah ia menangisi kepergian Hira? Ataukah seharusnya Ernest bahagia karena berkat Helga, ia tidak jadi terbunuh di tangan Sang Kuntilanak Merah.
Satu bulir likuid bening, meluncur jatuh kala bibir ranum Hira terkatup dan sepasang kelopak matanya terpejam. Hati Ernest seolah disayat sembilu, dan rasanya itu sebanding dengan banyaknya luka cakar yang sempat Hira tanamkan di beberapa bagian tubuh Ernest.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
HorrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...