Derap langkah sepatu yang membentur rerumputan hijau di lantai hutan, terdengar memburu. Ernest yang tak sanggup lagi menahan hasratnya untuk buang air kecil, segera menyelinap di balik dedaunan talas raksasa yang tingginya sejajar dengan tubuh pemuda berbibir tipis itu. Sedangkan Baron yang dipaksa menjadi pengawal Ernest, hanya dapat berdiri kesal dengan melipat kedua tangannya di balik kumpulan pohon bambu kuning yang menua. Sesekali, pemuda bongsor itu mendengus sebal. Ketika Ernest yang berjarak hanya dua meter di belakangnya, terus mengoceh, meminta agar Baron tak meninggalkannya.
"Nest! Lo kencing apa BAB sih? Lama banget kayaknya. Buruan kenapa! Tar ditinggalin sama Dylan dan yang lainnya baru tahu rasa lo!" tukas Baron, tampak mulai bosan melihat pemandangan di sekitarnya hanyalah tumbuhan hijau yang luas saja.
"Iya, Bar. Bentar, ini juga udah kelar," sahut Ernest sembari menutup kancing celana jeansnya. Belum sempat pemuda sipit itu melangkahkan kakinya setelah berbalik badan. Gemuruh di perutnya yang mengeluarkan gas, membuat Ernest mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat tersebut.
"Bar! Tungguin bentar lagi, ya? 10 menit aja, soalnya perut gue mendadak mules ini."
Baron berdecak, dengan kedua bola matanya yang berputar sekali. "Sepuluh menit? Kelamaan! Lebih dari lima menit lagi lo di sono, gue bener-bener bakal ninggalin lo, Sipit!" Perkataan yang Baron lontarkan untuk menggertak salah satu sahabat karibnya itu, mau tak mau membuat Ernest kalang kabut. Tergesa-gesa mencari tempat yang lebih strategis lagi untuk memenuhi hajatnya.
"Lagian, itu perut harusnya disekolahin napa. Biar dia tahu. Kalo hutan itu, bukan tempatnya dia buat beranak! Ditemenin setan penunggu ini tempat, baru tahu rasa lo!" oceh Baron ngedumel.
Suara dedaunan dari kumpulan pohon yang dimainkan oleh kencangnya angin yang berembus, memaksa Baron lebih waspada. Mengarahkan cahaya senternya ke setiap sudut hutan yang dapat dijangkau oleh netranya. Hanya untuk berjaga-jaga saja. Siapa tahu, secara spontan ada harimau kelaparan yang tiba-tiba melompat untuk menerkamnya.
1 menit ....
2 menit ....
3 menit ....
Komplotan nyamuk hutan yang mulai menyerang bersama rintik gerimis, membuat Baron semakin tak nyaman berlama-lama di tempat itu. Setelah berhasil menghabisi lima ekor nyamuk dalam sekali tepuk, Baron lantas melirik arloji hitam di lengan kirinya. "Udah tiga menit loh, Nest! Dua menit lagi lo gak balik. Gue ting ...," Kalimat yang akan Baron ucapkan tertahan, kala ia melihat kemunculan Ernest dari balik pohon bambu di belakangnya.
"Udah lo, buang hajatnya? Cepet bener. Eh, jangan-jangan lo gak cebok dulu ya?!" tuduh Baron pada Ernest yang terlihat lebih pendiam dari sebelumnya. "Lo jalannya jangan deket-deket gue, ah! Gue gak mau nyium bau kagak enak dari pantat lo!" sambungnya yang berjalan lebih dulu di depan Ernest.
"Ayo buruan, Nest! Tar kita beneran ditinggalin lagi sama Dylan." Ajakan Baron yang meminta Ernest agar mempercepat langkah kakinya, tampak tak begitu dipedulikan. Karena Ernest yang berwajah pucat pasi itu, malah mengekor di belakang Baron dengan melompat-lompat. Bukan berjalan kaki.
Tak lama setelah kepergian Baron. Dari balik tumbuhan dengan daun berduri yang tumbuh lebat, Ernest (asli); yang baru saja selesai membuang beban di perutnya itu, menyumbul keluar dengan menghela napas lega. "Akhirnya. Plong juga ini perut," ucap pemuda itu sambil menepuk-nepuk perutnya yang kempes. "Bar! Gue udah kelar nih. Yuk, kita susul si Dylan sama si Arthur!" sambung Ernest mendatangi tempat di mana Baron menungguinya tadi.
Namun betapa terkejutnya pemuda berwajah oriental itu, saat Ernest sudah tidak menemukan siapa pun di sana. Sadar bahwa mungkin dirinya benar-benar telah ditinggalkan oleh sahabat karibnya, Ernest langsung memasang wajah panik. "Bar! Lo di mana, Bar? Lo gak beneran tega ninggalin gue sendirian di hutan seserem ini, kan?" keluhnya dengan suara yang bergetar. Karena tak ada jawaban dari Baron, Ernest pun memutuskan untuk mencari keberadaan temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supranatural High School [ End ]
TerrorMereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke RSJ, hanya gara-gara aku tidak seperti mereka. Aku frustasi dan hampir menyerah pada hidup karena hal ini. Namun, sebuah sekolah justru mener...