Bab 01

4.8K 29 1
                                    

Cerita ini diangkat berdasarkan kisah nyata, dengan penuh emosi, komedi, dan beberapa kali gagal dalam hubungan percintaan. Namun, sekarang lelaki itu tidak mampu lagi melanjutkan perasaan di hatinya karena sudah pasrah dan trauma tingkat tinggi.

Dilema pun bercampur aduk menjadi satu, hanya doa untuk Sang Penguasa Alam saja yang selalu dia panjatkan. Apakah dia bisa melewati masa-masa genting dalam hidupnya tersebut?

Simak kisah seorang guru honorer yang berangkat dari perjalan pahit, hingga mencapai semua yang dia inginkan.

Kisaran tahun 2012 ...

POV Andy

Bel pun telah berbunyi dan membuat kegiatan belajar dan mengajar terhenti. Para siswa dan siswi menghambur keluar ruang kelas dan hendak menuju rumah masing-masing. Tetapi tidak dengan aku. Karena tugas banyak menumpuk, sedari tadi aku hanya menatap buku-buku pelajaran yang telah berserak di atas meja.

Untuk kembali pulang rasanya enggan, karena jika sudah sampai rumah pasti segala pekerjaan akan terbengkalai. Kendatipun ada waktu di malam hari, biasanya aku habiskan untuk membantu sang ibu untuk membuat kue basah.

Di rumah aku tinggal bersama ibu, wanita kelahiran Blitar, Jawa Timur itu selalu membuat aku merasa nyaman jika ada di dekatnya. Sosok malaikat tak bersayap yang pernah hidup di muka bumi, memiliki paras tidak terlalu cantik, tetapi sangat memesona di zamannya.

Emak adalah wanita tangguh, karena semua pekerjaan rumah hampir dipegang sendirian. Bahkan untuk urusan mencari kayu bakar, mengambil air dari jarak yang cukup jauh, bahkan mengangkat padi-padi ketika sudah waktu panen datang.

Ayahku adalah seorang wiraswata dalam bangunan, dia pergi di pagi hari dan pulang ketika petang. Namun, terkadamg dia pulang setengah hari dan terkadang tidak terlihat sama sekali. Aku yang ketika pergi sekolah diantar oleh emak, dan pulang selalu dijemput oleh sang adik.

Setiap harinya rutinitasku begitu, karena ayahku tidak bisa naik motor dan dia hanya naik diboncengan abangku nomor dua ketika pergi bekerja. Keluarga kami terbilang sangat harmonis, walau terkadang ada cek-cok dan itu adalah bunga-bunga rumah tangga.

Untuk pergi ke sekolah aku selalu pakai tas ransel warna cokelat, rambut disisir ke samping, serta pakai kacamata karena kedua mataku sedikit rabun. Ketika melihat teman di samping aku bisa, tetapi adakalanya ketika netra sejurus pada papan tulis akan buram dan sama sekali tidak dapat terlihat.

Di sekolah aku selalu dibilang anak manja, bahkan ada juga yang mem-bully dengan kata-kata kasar seperti profesi orangtuaku. Si emak yang setiap hari berjualan tapai pun selalu menjadi sorotan publik, karena teman-teman banyak yang usil dengan pekerjaan orang lain.

Padahal emak selalu mencari uang dengan cara halal, yang namanya manusia memang begitu. Baik pun yang dilakukan akan tetap buruk, apalagi jika perbuatan jahat selalu ada di setiap hari manusia itu. Tanpa peduli ucapan mereka, aku hanya menjalani aktivitas biasa saja.

Nama aku adalah Andy. Lebih lengkapnya, Ahmad Ariandy. Banyak yang mamanggil aku Hendra ketika di sekolah, tidak tahu kenapa mereka berbicara seperti itu. Untuk pertemanan, aku hanya punya teman perempuan. Ada juga jenis kelamin laki-laki, tetapi tidak banyak.

Rata-rata teman laki-laki di sekolah sangat kasar, jadi aku lebih memilih untuk berteman dengan perempuan saja. Sejak duduk di bangku SMP, aku selalu menjadi bahan bully karena ke mana-mana memakai kacamata dan membawa buku pelajaran.

Entah apa mau mereka, karena aku tidak pernah mengganggu apalagi membuat mereka sakit hati. Dalam berbicara aku selalu merangkai ucapan, agar tidak menjadi santapan mereka yang terlahir dengan kasta jauh di atas aku.

Sebuah sentuhan lembut mendarat di pundakku. "Andy, apakah kau tidak pulang?"

Sebuah suara menggema di ruang kelas, bernada perempuan dan sepertinya aku kenali. Secara saksama, aku menoleh ke belakang badan. Sesosok wanita cantik mengenakan jilbab putih hadir di sana, lengkap dengan mainan jilbab yang menempel di kepalanya.

Karena arloji sudah menunjukan sore hari, aku pun mencoba untuk membereskan buku pelajaran yang berserak di atas meja.

"Maya, apakah itu kau?" tanyaku, lalu netra ini kembali menoleh orang tersebut.

"Ya, ampun ... kau lupa dengan sahabat sendiri? Ini aku, Maya," jawab wanita itu dengan mengernyitkan bibir kanan.

"He-he-he ... aku takut salah. Maaf, karena pandanganku sudah sedikit kabur."

"Banyak banget tugas yang kau kerjakan hari ini? Bukannya ... semua baru akan dikumpul seminggu yang akan datang?" tanyanya penuh selidik, lalu dia berkacak pinggang.

Mendengar ucapan itu aku mengangguk, kemudian menjawab, "iya, emang tugasnya seminggu lagi. Namun, kalau sudah beres akan lebih nyaman belajar."

Selepas berujar, aku mencoba untuk menyusun buku dengan cepat. Dari samping kanan, Maya pun membantu. Wanita berjilbab itu memang sigap, dia memiliki sifat sedikit tomboy dan bertingkah sangat kasar pada siapa pun termasuk sahabatnya.

Akan tetapi aku nyaman berteman dengannya, dia merupakan sahabat terbaik sejak kami duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setelah selesai, kami pun sama-sama menuruni anak tangga lantai tiga. Gedung sekolah kami sangat elit, memiliki empat lantai dan bisa dibilang sekolah paling mahal seantero kota Kisaran.

Kali ini aku bersekolah di swasta, karena memang pilihan jatuh di sana dan aku tidak mempermasalahkan di mana akan menimbah ilmu. Bagiku semua sekolah sama saja, tergantung keinginan siswanya dalam mencapai semua yang diimpikan.

"Andy, aku ingin beli bakso di depan," ucap Maya sembari menunjuk gerobak Wak Blangkon.

"Oh, aku nunggu di sini saja," jawabku seraya berkacak pinggang menanti sang sahabat kembali.

Bakso Wak Blangkon memang sangat enak, tetapi karena aku tidak suka makan bakso, jadi hanya sekadar menelan ludah tanpa menginginkan untuk mengunyah makanan bulat itu. Maya pun berjalan laju menghampiri penjual, sementara aku masih bergeming di pos satpam sembari membuka ponsel.

Siang menjelang sore telah tiba, akan tetapi emak atau sang adik tidak kunjung datang untuk menjemputku. Mereka memang suka telat dalam menjemput, mungkin karena ada pekerjaan lain di rumah yang tidak bisa ditinggal.

Selepas membeli bakso, Maya kembali menemuiku di pos satpam. Wanita bermata bulat itu berdiri di samping dengan memakan baksonya yang baru saja dia beli tadi. Dari parkiran motor, Nazmitha pun datang. Perempuan kurus itu selalu membuat kami lucu, dia sangat penuh komedi dan terkadang membuat sangat kesal.

"Andy ...!" teriak Nazmitha.

"Eh, mau ke mana kau? Enggak pulang jam segini?" tanyaku bertubi-tubi.

"Aku lagi menunggu Risma," jawabnya sembari menatap gedung dua bangunan sekolah.

"Emang Risma pergi ke mana?" tanyaku lagi.

"Biasalah, jumpai jantan dia. Aku nebeng sama dia, jadi kami selalu pulang bareng sekarang." Setelah berkata, Nazmitha berdiri di sampingku.

Kami pun berjajar rapi seperti sebuah formasi bodyguard, akan tetapi lebih kepada penjaga kamar mandi sekolah yang setiap saat suka buang air tidak tentu. Sepanjang aku sekolah di SMK, tidak pernah mendapati masalah apa pun dalam bergaul. Mungkin karena sahabat-sahabat di sekolah memang tidak terlalu kepo, dan membuat geli setiap saat.

Tidak berapa lama, seorang wanita tanpa jilbab melintas di hadapan kami. Dia adalah Linar, siswi non-muslim yang setia berteman dengan kami dan selalu ikut jika pergi ke perpustakaan. Dalam kegiatan keagamaan di sekolah terbagi tiga, karena agama di sekolah kami pun sangat universal dan tidak hanya ada satu.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang