Setelah menaiki anak tangga lantai 3, seluruh siswa pun buru-buru mengambil tas dan langsung pergi dari ruang kelas. Tidak dengan aku yang selalu saja pulang terlambat. Entah kenapa, kalau sudah waktu pulang, sekolah sangat ramai hingga bernapas pun susah.
Jangankan sekadar melintas saja, parkiran serta halaman sekolah ikut penuh bagai sebuah stadion bola yang telah usai. Namun, walaupun sangat ramai, belum pernah terjadi konflik antara jurusan di 3 kelas yang berbeda itu.
Sembari menatap ponsel, aku pun mengirimkan chat pada Siti—adikku yang biasanya menjemput di samping penjual bakso bakar. Melalui aplikasi BBM, dia menjawab iya dan aku bergeming di samping pos satpam.
Tak berapa lama, Lela dan Risma datang menghampiri. Pasalnya, mereka memberhentikan motor secara bersamaan.
"Beb, kamu enggak pulang?" tanya Risma.
"Enggak, aku mau nunggu maya dulu di sini," jawabku sekenanya.
"Mau ngapain nunggu Maya? Kan, udah sunyi banget ini," imbuh Risma lagi.
"Jangan kompor, Ris. Itu motor Maya masih ada di parkiran," sambar Lela, dia menujuk ke arah parkiran.
"Baiklah, kalau kau mau pulang sama dia. Aku akan pulang sama Rahma aja. Bye, teman-teman."
Tanpa menjawab ucapannya, aku pun hanya terfokus menatap layar ponsel. Dengan aplikasi biru bertuliskan F, aku pun membuat status hari ini.
[Bumi itu besar, yang kecil adalah harapanku untuk memilikimu.]
Sontak beberapa menit setelah itu, banyak cewek-cewek yang berkomentar. Saking banyaknya, aku sekadar membaca dan memerhatikan. Ada juga yang mengirim pesan, inbox terlihat ada beberapa chat belum terbalas.
Belum lama bergeming, seseorang baru saja turun dari lantai tiga. Maya meneteng tasnya, dia berjalan terengah-engah seperti sangat lelah. Lalu, dia menemui motornya.
Wanita tomboy itu seperti sedang ada masalah. Namun, dia hanya sekadar memberitahukan tentang kedekatannya lagi pada sang mama. Pasalnya, sejak dia duduk di bangkus Sekolah Dasar, sang mama telah pergi ke luar kota dan menikah di sana.
Namun, sekarang datang lagi ketika Maya berusia 17 tahun. Yang menjadi perasannya sangat malas bukan kehadiran sang mama. Melainkan, dia enggan jika harus pergi bersama sang mama dan ayah sambungnya.
Kalau menurutku, keputusan Maya sudah tetap dengan menolak ajakan itu. Karena, di sini dia harus mengurus nenek dan kakeknya yang sudah lumayan tua.
"Andy!" pekik Maya, lalu aku menoleh dia. "Mau pulang atau enggak?" tanyanya.
"Eh, i-iya, May, bentar," titahku terbata-bata.
Dengan sangat cepat, aku melompat dari pos satpam dan langsung berada di samping motor milik sang sahabat. Wanita tomboy itu yang membonceng, karena dia tak sabar jika harus aku sebagai supirnya.
"Andy, kamu di rumah ada siapa aja?" tanyanya.
"Biasa, ada mamak. Paling juga Siti, kenapa emangnya?" Kali ini, aku yang bertanya.
"Kalau boleh, aku pengen singgah. Tapi, ada yang mau aku tanya sama kamu."
"Hmmm ... katakan saja sekarang. Aku akan dengarkan dari belakang," ujarku.
"Aku malu harus mulai dari mana, Ndy." Maya menjeda ucapan, lalu dia menarik napas panjang. "Sebenarnya, aku suka sama kamu."
Deg!
Mendengar ucapan itu, aku pun terbungkam. Pasalnya, kami sudah bertahun-tahun bersahabat. Namun, dia menyatakan cinta tepat di atas motor. Kejadian ini sudah sama dengan film Dilan. Namun, bedanya, kalau sekarang Milea yang menyatakan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.