"Assalammuaikum anak-anak ...," sapa Pak Bobi yang masuk melalui ambang pintu.
"Wa'alaikumsallam Warahmatullahi Wabarakatuh ...," respons seisi ruangan.
"Baiklah, kita mulai meteri agama hari ini adalah bagimana mensyukuri nikmat dari Allah SWT." Pak Bobi pun menjelaskan pelajaran yang dia bawakan.
Entah kenapa, setiap pelajaran agama telah tiba, kami tidak ada yang berminat keluar dengan seribu alasan anak remaja. Padahal jika pelajaran lain, siswi-siswi simpang siur dengan memberikan alasan klasik karena ingin ke toilet. Sejak kehadiran guru agama beberapa menit yang lalu di ruangan, seluruh pasang mata hanya terpaku padanya.
Selain pintar menjelaskan, Pak Bobi juga sering mengedarkan senyum simpul pada siswanya. Karena dia tahu, sejak pagi tadi kami telah lelah berpikir perihal mata pelajaran. Sehingga lelaki berperawakan tampan itu selalu membuat ruang kelas senyaman mungkin. Selepas menjelaskan, Pak Bobi pun tertegun dengan menatap kami di ruangan.
"Apa ada yang ingin bertanya?" kata Pak Bobi seraya menatap ke arahku sesaat.
Karena sudah diberikan kode, aku pun tunjuk tangan seraya bertanya seputar materi. Dengan sigapnya, dia menjawab semua yang menjadi kendala dalam benak hidupku selama ini. Selain mengajar agama, Pak Bobi adalah guru olahraga di lain sekolah.
Sejauh ini dia bersikap sangat baik padaku, entah kenapa kehadiran diri ini di sekolah menjadikan aura positif di sekitar guru. Setiap belajar Bahasa Inggris juga sama, Pak Sugianto juga sangat menyukai aku yang begitu pandai dan cekatan berbahasa internasional itu.
Apalagi seorang wanita yang ada di lantai satu, dia juga sangat menanti diri ini untuk belajar kembali padanya. Guru-guru telah menyematkan aku tentang julukan baru, yaitu Bintang Kelas. Entah dari mana datangnya ucapan itu, karena setahu aku hanya Bu Putri sebagai permulaan ketika mencetuskan hal tersebut.
Pelajaran agama islam pun habis dengan sangat cepat, bel berbunyi yang menandakan jam istirahat telah tiba. Tampak dengan bergegas, Pak Bobi membereskan buku-buku miliknya di atas meja.
"Baiklah, pelajaran akan kita sambung minggu depan. Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," sapanya sangat lembut.
"Wa'alaikumsallam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab kami serempak.
Satu persatu siswa dan siswi beragama non-muslim memasuki ruang kelas, mereka menggabungkan diri untuk mengikuti pelajaran terakhir. Maya pun datang menghampiri, dia merogoh kantong celananya seraya mengambil tisu.
"Andy, kau enggak beli makanan ke warung?" tanyanya spontan.
"Aku malas banget keluar. Bagaimana kalau kau saja yang beli, aku titip," jawabku yang spontan membuat Maya berubah ekspresi.
"Ah, kau selalu begitu kalau diajak. Yuk, Naz, kita tinggal saja dia. Paling Ilham sama Rudi nanti nyamperin kamu dan bertanya perihal sesuatu yang aneh-aneh," ujar Nazmitha.
Tanpa menghiraukan mereka, aku hanya menatap sejurus ke buku pelajaran. Setelah kedua wanita resek itu berada di ambang pintu, pikiranku berubah total. Dengan menutup buku, aku berniat ikut dengan mereka ke lantai satu.
"May ... Nas ... tunggu aku! Woi, tunggu ...," teriakku dari dalam ruang kelas.
Dengan langkah laju, aku berlari menemui kedua sahabat yang sedang menggosip di sepanjang jalan. Bersama napas ngos-ngosan, tibalah aku di lantai dua dengan neuruni anak tangga. Beberapa orang tanpa sengaja terkena siku dariku, mereka pun meringis.
"May. Nas! Kalian resek banget ninggalin aku sendirian. Mana ruang kelas sunyi banget lagi," omelku di posisi belakang mereka.
"Siapa suruh enggak ikut kami, lagian ada-ada aja suka banget nyari masalah sama Rudi." Nazmitha menatapku seraya membuang tatapan sejurus pada warung Bu Eem.
Karena di sana banyak anak laki-laki, Nazmitha pun mendadak mengambil cermin berbentuk lingkaran dari kantong roknya. Siswi bertubuh semampai itu selalu salah tingkah jika ada Jhon di sana. Ternyata, di samping Jhon telah ada Ilham dan Rudi.
Musuh bebuyutanku ada di sana dengan memakan mie bakso. Bersama perasaan pura-pura tak melihat, aku pun melintasi mereka seraya memilih gorengan.
"Kayaknya ada si kutu buku lagi belanja," sindir seseorang, dari nada suaranya seprti siswa berkulit hitam manis bernama—Ilham.
Karena aku tidak mau menggubris ucapan itu, aksi tetap sama dengan tadi dan sekadar memilih makanan yang telah berjajar rapi. Bu Eem telah menemui, dia membawa gorengan panas yang baru saja diangkat dari dalam wajan.
"Hei, Andy! Udah berapa abad enggak mampir berasa mimpi kalau dia ini datang," ledek Bu Eem.
Bersama tatapan kesal, aku pun memutar pandangan dengan menatap Maya. Sang sahabat pun mengambil plastikku dan memilih makanan yang telah aku minati, dia sangat sigap setelah melihat diri ini mendapat ledekan di sana dan sini.
"May, kau sama Andy sudah seperti pacaran. Perhatian banget sama dia," ledek Ilham sekenanya.
"Ha-ha-ha ... benar banget, mereka sepertinya jodoh dari lahir," sambar Rudi.
Mendengar ucapan itu, Maya mencoba sabar karena tidak mau mencari perkara. Tidak berapa lama, Nazmitha datang seraya berdiri di sampingku.
"Ndy, jangan dangarkan mereka ngomong. Anak-anak sampah emang begitu," kata Nazmitha di daun telingaku.
"Cie ... tadi Maya yang perhatian, sekarang ada pahlawan lagi yang datang. Udahlah, Andy, kau pacari saja mereka berdua. Kan, asyik poligami di usia muda." Ledekan kembali terdengar dari kedua siswa itu.
Karena merasa tidak terima, Maya mengambil sebotol saus di hadapannya. Kemudian dia melempar botol itu mengenai kepala Ilham dan Rudi.
"Ach ... May! Apa-apaan, sih, jadi orang. Lihat ini, baju kami kotor begini!" pekik Ilham.
"Makanya, kalau punya mulut dijaga. Jangan asal keluar," jawab Maya.
Karena tidak terima, Rudi pun membangkitkan badan seraya mendekati tubuh Maya. Dengan pongahnya, wanita tomboy itu membusungkan dada seraya mendelik. Sementara Bu Eem hanya sekadar memerhatikan, karena perdebatan kedua siswa itu sudah biasa kalau berada di kantin.
"Apa kau! Enggak senang bilang!" tantang Maya.
"Aku masih kasihan karena kau anak cewek, kalau kau anak cowok udah—" Rudi pun memukul meja dengan mengepal tangan.
"Jangan mentang-mentang aku cewek enggak berani melawan kalian. Maju kau kalau punya nyali," tantang Maya lagi.
Dari bangku paling pojok, Jhon pun bangkit seraya berdiri di tengah perseteruan. Dengan tatapan yang datar, siswa tampan itu menatap Rudi.
"Jangan berani lawan cewek, cari lawan yang seimbang. Kau adalah ketua kelas, malu dilihat siswa jurusan lain." Jhon memberikan pandangan.
"Namanya banci, Jhon, mana ada malunya. Berani sama perempuan," sambar Maya lagi.
"Udah, May, sabar. Yuk, kita kembali ke kelas aja," ajakku diikuti dengan Nazmitha yang mengelus pundak sahabatnya.
Kami pun beralih tempat menuju ke lapangan sepak bola. Dengan langkah laju, kami bertiga menaiki anak tangga lantai tiga gedung satu. Namun, sejak berungsut dari warung, Maya mengomel tanpa henti. Hingga di sebuah koridor, Pak Guru mata pelajatan IPS melintas.
Maya tidak melihat akan kehadiarannya yang secara tiba-tiba, kemudian menabrak pak guru tersebut.
Gubrak!
"Eh, Pak, maaf. Sa-saya enggak lihat, sumpah!" ucap Maya dengan nada sedikit takut.
Pak guru mengernyitkan alis seraya memperbaiki kacamatanya. "May, kalau jalan lihat-lihat. Jangan semua kamu tabrak."
"Iya, Pak, saya paham tapi—"
"Tapi apa, May? Kau berantem lagi sama siswa laki-laki?" tanya guru IPS itu.
"Enggak, Pak. Maya hanya sedang makan gorengan banyak, jadi tidak fokus saat jalan." Dari ujung koridor, aku menjawab sekenanya.
Pak guru mengangguk seraya membungkam. Dalam nada suara pelan dia kembali menjawab, "oh ... jadi kalau orang kenyang, berjalan pun tidak fokus?"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.