Bab 27

82 2 0
                                    

Hari-hari yang kujalani sangat indah. Penuh dengan komedi, bahkan menahan tawa. Sebagai anak baru yang datang sejak kelas 11, aku tidak banyak teman di sekolah. Bukan hanya teman, sekadar orang spesial saja aku tak ada.

Keseharianku di sekolah selalu menjadi anak yang baik, polos, serta taat akan tata tertib. Semua tugas aku kerjakan, bahkan praktik juga sangat bisa aku tangani sendirian.

Setibanya lantai dua gedung sekolah, aku berjalan sangat lanju menaiki tangga. Ya, gedung sekolah kami ada empat lantai, sangat tinggi, akan tetapi tidak ada liftnya. Kalau seandainya kami melompat dari lantai dua, otomastis nyawa akan melayang sia-sia.

Menjadi siswa paling rajin di sekolah membuat aku banyak fans. Bahkan, cewek-cewek yang berada di lain jurusan selalu saja mencari di mana aku berada ketika jam istirahat. Seperti halnya siswi bernama—Kiki.

Perempuan yang sempat menjadi mantan pacarku itu sekarang sekolah di SMA, sama denganku hanya saja kami berbeda lantai. Ruangan dia ada di bawah. Akan tetapi, dapat aku lihat kalau lagi istirahat tiba.

Sampailah aku di ruang kelas. Duduk sendirian bagai orang bego, celingukan bagai seorang maling. Di dalam kelas tidak ada siapa pun, hanya beberapa bangku kayu tengah berada di atas meja.

Lamat-lamat, kedua telingaku mendengar sesuatu di luar kelas. Karena pagi ini sangat sunyi, bulu kuduk pun meremang juga. Memang aku tak takut, akan tetapi kalau ada pocong datang secara tiba-tiba, kemungkinan aku akan ke luar dan lari juga.

Sembari menyibak rasa takut, aku berjalan menuju belakang kelas. Sekadar mengalihkan rasa takut itu, mungkin beberapa lukisan dapat membuat reda.

Ketika aku menatap lukisan tiga dimensi, sebuah telapak tangan mendarat sempurna di belakangku.

Deg!

Lamat-lamat, aku memutar badan. "Astaga!" pekikku terkejut.

"Hai, kau ngapain di sini sendiran?" tanya orang itu, terlihat asing, dan aku tak kenal.

"Ka-kau, Kau siapa?" tanyaku penuh selidik.

"Kenalkan, nama aku Arifin. Panggil aja Ari," katanya, lalu dia menyodorkan tangan kanan.

Karena aku tidak kenal, lalu aku menjabat tangannya. "Nama aku Andy," jawabku.

"Aku udah tahu, kalau nama kamu Andy," katanya lagi.

Tatapan yang tadinya aku buang di samping kanan, kemudian kembali menoleh ke arah lawan bicara. Untuk memastikan kalau aku kenal. Ternyata, aku benar-benar tidak kenal padanya.

"Kau anak baru di sini?" tanya Ari lagi.

Aku menoleh sekilas, lalu menjawab, "iya, aku pindahan sekitar dua bulan lalu."

"Oh, kita bisa berteman?" tanyanya.

"Boleh aja, asal kamu enggak terlalu kepo sama aku. Soalnya, aku enggak suka orang kepo," pungkasku.

"Hmmm ... aku pun enggak suka sama orang kepo. Semoga, kita bisa berteman baik di sini," imbuhnya.

Belum lama aku bergeming, kemudian menatap lukisan yang lainnya. 'Ini bocah siapa, ya. Kok, aku enggak pernah melihat dia. Atau jangan-jangan, dia anak siluman. Kan, tadi datangnya saja tiba-tiba.'

Selepas bersenandika dalam hati, aku mencoba menoleh lagi orang asing itu. Sambil menyibak kedua bola mata, dan menarik napas panjang.

Ternyata, dia anak manusia. Karena kedua kakinya menapak di lantai, dan tidak hilang seperti film yang lagi populer saat itu. Ya, Nenek Gayung.

Belum lama bergeming, suara teriakan kembali terdengar di ambang pintu. "Hai ... kalian lagi apa!"

Ternyata, Maya datang seperti biasa. Siswi tomboy yang selalu saja membuat aku menutup telinga kalau dia sudah hadir. Bersama Nazmitha—siswi berbadan kurus bagai ikan asin di belah dua.

"Kalian ngapain di sini berduaan, Cong?" tanya Maya.

"Cong? Maksudmu apa itu, Cong? Congor?" tanyaku bertubi-tubi, sambil menyentuh mulut.

Dalam bahasa Jawa, congor artinya mulut.

"Bukan itu, loh. Tapi anak ini." Maya pun memukul pipi Arifin, lalu dia menambah, "anak ini aku panggilnya bencong."

"Ih, enggak baik begitu. Dia itu laki-laki, namanya aja Ari," pungkasku mengomel.

"Tapi dia senang, kok, dipanggil bencong."

"Bukan senang Maya, tapi aku enggak mau cari ribut sama kamu. Kan, kamu itu perempuan tomboy," tukas Arifin sekenanya.

"Hmmm ... memang dia tomboy, dari SMP pun," sambarku.

"Lah, kau kenal dengan Maya sejak SMP?" tanya Atifin.

"Kenal, lah. Dia itu teman satu kelas aku, kok," imbuhku.

"Oh ... pantesan aja. Kalau gitu, aku ke kelas dulu, ya. Sampai bertemu nanti jam istirahat." Arifin pun pergi begitu saja.

Kelakuan lelaki yang memiliki gaya mentel itu membuat aku menelan ludah. Pasalnya, panggilan Maya tadi tidak salah. Pantas saja kalau dia dipanggil bencong, karena kelakuannya itu.

Kini, aku memiliki teman baru di sekolah. Maya dan Nazmitha duduk di bangku, beberapa siswi lainnya datang memasuki ruang kelas.

"Hai ... selamat pagi ...," celetuk Vera.

"Ver, hari ini kau terlihat cantik," pujiku.

"Ah, masak iya? Andy buat aku malu aja," jawabnya.

"Ver, kamu itu cantik kalau dilihat dari lubang pipet."

"Ha-ha-ha ...." Beberapa teman yang berhadir di dalam kelas pun terkekeh-kekeh.

Aku juga ikut tertawa juga, karena memang itu sangat lucu. Sembari membuka buku, aku pun menatap tugas Akuntansi di buku berukuran panjang.

Maya pun mencolek pundakku dari belakang. "Andy, kau udah siap tugas Akuntansi?"

"Udah, kenapa emangnya?" tanya Maya.

"Aku lihat, dong. Punya aku enggak selesai, mentok di jawabam nomor tiga."

"Nih, buruan, kalau lama-lama, aku ambil lagi."

Maya pun mengerjakan tugas itu dengan cepat. Sementara Nazmitha sedari tadi menatap jam di tangannya. Lalu, wanita berbadan semampai itu memukul arloji itu.

"Kau kenapa, Nas?" tanyaku.

"Sialan! Jam tanganku ternyata mati. Pantesan, tadi dilihatin cowok-cowok," jawab Nazmitha.

"Yey! Makanya kalau mau pakai itu dilihat dulu, jangan asal pakai aja," ledek Maya di sampingnya.

Ruang kelas yang tadinya sangat sunyi, berubah sangat ramai. Bahkan, melebihi dari pasar pagi tempat di mana ibu-ibu berbelanja sayuran.

Pelajaran pertama ada kecantikan. Pelajaran yang memberikan materi seputar merawat tubuh, dan beberapa produk yang baik digunakan.

Aku suka belajar kecantikan. Bukan karena ingin mendalami kegiatan berdandan layaknya wanita, akan tetapi lebih kepada gurunya yang sangat bisa membuat suasana hidup.

"Selamat pagi anak-anak ...," sapa guru kecantikan, namanya Rosnila.

"Selamat pagi, Bu ...," jawab kami serempak.

"Baiklah, ambil buku pelajaran kecantikan, kita akan mencatat sedikit."

Dengan mendengarkan Bu Ros mendikte, kami mengikuti semua yang dia katakan. Catatan beberapa paragraf pun telah rampung di dalam buku, menjadi materi paling indah sepanjang sejarah.

Kali ini, kamu mempelajari berbagai bedak. Namun, aku tak tahu bedak apa saja yang baik digunakan. Sekalian praktik, kami mendapat tugas untuk merias wajah teman satu bangkunya.

Karena aku duduk sendirian, orang yang hendak aku rias tidak ada.

"Andy, kamu kenapa diam aja?" tanya Bu Ros.

"Bu, siapa teman yang akan saya rias?" jawabku.

"Hmmm ... oke, saya akan panggilkan satu siswa untuk kamu rias. Tunggu di situ," kata Bu Ros, dia pergi dari dalam ruang kelas.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang