Sepanjang jalan menuju ke dalam kelas, aku tak henti-hentinya berbicang pada Maya. Namun, untuk sekadar menjelaskan apa yang aku alami tadi malam rasanya sangat malu. Berjarak beberapa menit sebelum kami sampai di ambang pintu, ternyata Nazmitha telah ada di sana seraya melipat kedua tangan.
Jika dilihat dari gayanya, wanita kurus itu seperti ingin meminta bantuan padaku. Namun, Maya telah menebak dalam benak jika Nazmitha akan merengek perihal tugas rumah beberapa hari lalu yang diberikan oleh Bu Putri. Seraya mendudukan badan, aku sengaja tidak membuka tas ransel.
Kemudian Nazmitha menoleh ke arahku sesaat, sebelum akhirnya kembali menadah menuju mejanya. Aku dan wanita berbadan semampai itu satu meja, bersanding dan sudah seperti acara pernikahan dini di usia SMA. Sembari menunggu Bu Putri datang, Maya pun berjalan seraya membawa bangkunya.
"Andy, kau sudah selesai PR hari ini?" tanyanya.
"Sudah, dong, aku adalah anak yang rajin kalau ngerjain PR," sambarku seraya menyindir Nazmitha di bangkunya.
"Mulai ... keluar sombongnya. Hmmm ... biasa juga aku yang selalu jadi bahan suruhan ketika beli makanan, enggak tahu diri emang." Wanita bertubuh semampai itu menyindir balik dengan meletakan badan bersandar di kursi.
Seketika Maya memberikan kode padaku, dia pun menoleh ke arah Nazmitha sembari mengambil tas ransel di samping kanannya. Karena Bu Putri belum datang, aku pun mengeluarkan buku pelajaran di atas meja. Selain berprofesi sebagai siswa, aku adalah mafia kunci jawaban.
"Andy, lihat jawabanmu. Aku sedikit kurang percaya diri dengan jawabanku," kata Maya.
"Giliran si tomboy dikasih lihat, aku yang selama ini menjadi babu enggak dikasih. Percuma aku cari teman sebangku yang pintar," omel Nazmitha.
Karena merasa sangat kasihan, aku membangkitkan badan seraya bergeming di samping Maya. Sementara para sahabat simpang siur karena mencari jawaban dari tugas yang diberikan Bu Putri. Ruang kelas sunyi bagai kuburan mendadak ramai menjadi pajak pagi. Beginilah rutinitas kami sebelum memulai KBM.
"May, kamu duduk sama Nazmitha aja. Biar aku duduk di bangkumu," ujarku pada sang sahabat.
"Nah, gitu kenapa daritadi. Kan, aku enggak emosi nengoknya," sambar Nazmitha seraya mengambil buku dan pena di dalam tasnya.
Tanpa basa-basi, Maya dan Nazmitha mengerjakan tugas dari bu guru. Namun, belum lama mereka menulis, telah datang orang yang memberikan tugas minggu lalu.
"Selamat pagi anak-anak ...," sapa Bu Putri sembari mendudukan badan.
Mendadak para siswa dan siswi menghambur menuju bangku masing-masing. Dalam hitungan detik, semua pun rapi dan ada yang sebagian mendudukan badan di atas bangku milik orang lain. Seraya memekik, sahabat pun banyak yang membuang cengir karena geli.
Kehadiran Bu Putri tidaklah membuat mereka merasa takut, karena guru kami yang cantik itu tidak mengingat secara rinci siswanya duduk di mana. Wanita beragama non-muslim itu sangat digemari ketika mengajar, karena dia sangat santai dan tidak mau memukul.
Akan tetapi, Bu Putri suka memberikan tugas pada kami. Apalagi kalau akan mendekati waktu ujian, pasti dia sudah memberikan tugas-tugas jauh sebelum ujian dimulai. Wanita berkacamata itu menjelaskan materi di papan tulis. Lamat-lamat, para siswa dan siswi yang mendudukan badan di bangku sahabat, ingin kembali.
"Ilham ...," panggil bu guru, padahal dia tidak menoleh ke belakang.
Karena merasa terpanggil, pemilik nama pun tidak jadi pindah dari bangkunya semula, dia pun mendudukan kembali badannya di bangku milik Kiki. Tepat di kursi, aku tersenyum geli melihat bu guru. Wanita berambut keriting halus itu sepertinya paham gerak-gerik siswanya, sudah seperti memiliki mata ketiga di belakang badan.
Kamudian Bu Putri menjelaskan panjang kali lebar, kami mendengarkan seraya mencatat apa yang dia bilang. Sementara siswa dan siswi lainnya, hanya mengerjakan tugas seminggu lalu. Mereka lebih penting menyelesaikan, daripada harus menambah pengetahuan baru hari ini.
Selepas menjelaskan, wanita berambut pendek itu mendudukan badan seraya mengabsen. Dia pun memanggil dari urutan nama berdasarkan abjad. Karena aku adalah anak baru, jadi namaku pun disebutkan sangat terakhir olehnya.
"Apakah kalian telah selesai tugas minggu lalu?" tanya Bu Putri sekenanya.
"Sudah, Bu ...," jawab kami serempak seraya membuka buku tugas.
"Oke, silakan antar ke depan dan kalian kerjakan tugas yang baru," katanya.
"Baru juga selesai tugas minggu lalu, sudah ditambah lagi!" omel Nazmitha seraya memekik.
"Apa yang kau bilang tadi Nazmitha?" sambar Bu Putri. Ternyata dia mendengar omelan siswi berbadan semampai itu, padahal ucapan hanya samar dan sangat pelan.
Ketajaman pendengaran Bu Putri menyongsong seisi ruang kelas, dia pun mendelik seraya membuka kacamatanya menuju sang sahabat di bangku. Melihat ekspresi Nazmitha, aku pun menahan tawa karena sangat lucu.
Sememtara teman-teman yang lainnya juga merasakan hal sama, mereka menutup mulut menggunakan kedua tangan.
"Enggak ada, Bu, saya tadi cuma sendawa saja." Selepas berkata, Nazmitha pun menoleh ke arahku.
"Kalian jangan malas kalau diberikan tugas, karena itu untuk kalian juga suatu saat nanti. Kamu pintar siapa yang bangga? Orangtua kalian, bukan saya." Bu Putri pun berceramah seperti membuka mimbar di kegiatan keagamaan.
Kami mendengarkan semua nasihat yang dia berikan. Tepat di bangku paling belakang, Ayunda pun mengantar semua tugas ke depan Bu Putri. Siswi dengan julukan gupis itu selalu menjadi kebanggan di kelas, karena dia adalah salah satu wanita pintar dalam pelajaran Akuntansi.
Akan tetapi aku tidak peduli, karena dia sangat sombong dan sepertinya tidak mau membagi ilmunya pada sahabat. Untuk sekadar berteman, Ayunda selalu ikut dengan siswa di kelas lain. Entah apa maunya dia, mungkin sejak masuk di ruangan AK tiga, dia merasa salah dalam mendapatkan kelas.
Tidak berapa lama, jam pelajaran pun berakhir. Dengan begitu, Pak Bobi akan masuk untuk membawakan materi pelajaran agama islam. Untuk siswa dan siswi beragama non-muslim telah bergegas meninggalkan ruangan, karena mereka belajar di lantai dua.
"Sampai bertemu lagi teman-teman ...," kata Vera seraya mengedarkan senyum kecil.
"Ih, apaan coba. Masih pagi udah tebar pesona," pekik Nazmitha.
"Kau, loh, Naz. Daritadi aku lihat seperti orang baru PMS. Marah-marah saja," sambar Hakiki dari belakang.
"Biasalah, tadi malam dia enggak dapat jatah dari jantannya," celetuk Risma di bangkunya, kemudian dia kembali menatap cermin kecil.
Sahabat-sahabat di kelasku sangat unik, karena memiliki sifat yang lucu dan mengundang tawa. Semenjak pindah di SMK ini, hidupku terasa sangat senang dan terhibur. Bahkan pernah tercetus oleh bu guru, bahwa sebagain sahabat merupakan rumput liar di kelas.
Untuk urusan pertemanan, mereka sangat enak untuk diajak kompromi. Apalagi jika ada tugas yang berhubungan dengan uang, mereka adalah rata-rata anak orang kaya semua. Di dalam kelas, aku terkenal sangat pendiam, bahkan sebagian ada yang bilang sombong.
Sebenarnya bukan sombong, tetapi lebih kepada tidak ingin menghabiskan waktu dengan menggosip bersama yang lain. Karena sahabatku, tidak hanya wanita saja yang suka ngobrol, telaki juga.
Dari sekian banyak murid, untuk jenis kelamin laki-laki hanya ada empat orang. Mereka bersuku Batak, dan hanya aku laki-laki bersuku campuran. Namun, mereka tidak pandang suku dalam bergaul, bahkan berbeda agama pun mereka tetap mau berteman tanpa pandang kasta.
Kehidupan di dalam kelas sangat rukun, sejauh ini tidak ada cek-cok. Akan tetapi, terkadang konflik datang dari luar kelas, tamu tak diundang menjadi petaka dan merayap memasuki kelas Akuntansi tiga.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Fiksi RemajaMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.