Pagi telah tiba ...
Semburat arunika menerpa seluruh isi dunia, meskipun sebagain tidak terkena pancaran kemilau indahnya ketika berada di tempat tinggal dengan lintasan khatulistiwa. Semesta adil dalam membagi suhu udara, karena orang yang menentap memiliki caranya tersendiri dalam menjalankan aktivitas.
Tepat di pagi ini, aku membangkitkan badan seraya menatap ke luat gorden. Sebuah panorama indah tengah terjadi. Udara sejuk memboyong kicauan hewan-hewan yang lalu lalang mencari makan, bahkan ada yang sekadar hinggap di atas bunga dan menyerbuk pepohonan agar dapat memiliki buah.
Di atas dipan aku merasa sangat malas untuk keluar, saking betahnya di dalam kamar, aku pun mencoba untuk sekadar menggeser posisi duduk seraya menatap arloji di dinding kamar. Sang waktu telah menunjukan pukul 06.30 WIB, liburan akhir pekan membuat siapa saja malas beraktivitas.
Sama halnya dengan aku sekarang, sekadar mengambil minum di atas meja pun rasanya berat. Tidak biasanya hal ini kulakukan, biasanya juga kalau sudah masuk waktu liburan aku tetap bangun lebih awal.
Belakangan hari ini badan terasa lelah, malas untuk keluar rumah dan beraktivitas. Namun, sejak kehadiran sang sepupu di rumah ini membuat suasana sedikit berbeda. Bagaimana tidak, dia adalah orang yang menjadi teman dan harus bisa menyesuaikan hidup di dalam rumah sepetak kediaman kami.
Bagaimana rasanya berdamai dengan waktu, bagai berjalan di antara dua musim dengan udara yang tidak panas dan tidak terlalu dingin. Lantas hati ini terasa sangat sunyi, sebelum akhirnya sebuah pemberitahuan perihal cinta lama telah datang kembali di dalam jiwa.
Berada di sekolah rasanya tidak seindah biasanya, setiap hari harus bertemu dengan orang yang pernah menciptakan luka di masa lalu. Memang tujuanku sekolah untuk menimbah ilmu, tidak serta merta menghiraukan perasaan yang hanya dapat membelenggu jiwa.
Sembari menyibak rasa malas, aku membangkitkan badan sembari berjalan menuju ke meja belajar. Secarik kertas telah berada di sana seraya tertiup angin yang datang dari lubang ventilasi. Udara di luar rumah berubah, tadi terasa sejuk sekarang malah sangat gerah.
Aku pun membangkitkan badan sembari berjalan gontai, tapakan kecil membawa badan untuk segera menuju pusat tatapan. Ya, ke dapur dan hendak membasuh wajah. Setiap hari libur, aku merasa sedikit malas untuk mandi. Tidak seperti hari-hari biasanya, selalu sigap dan berperang dengan waktu.
Bersamaan dengan langkah kaki yang menyeberang dari ambang pintu, Siti hadir di samping membawa handuk. Wanita berambut sepinggang itu menoleh, lalu dia tidak peduli dan mendahului langkah kaki ini.
"Mau ke mana kau, Dek? Pagi-pagi udah mandi," kataku seraya membuat lawan bicara menoleh.
"Aku mau jalan-jalan sama teman, kau enggak usah kepo!" pekiknya seraya membuang tatapan kembali.
"Ih, sombong banget jadi orang. Paling juga nongkrong di rumah Mariati, atau sekadar bertemu si tulang lunak benama—Miswan."
"Namanya aku cuma punya teman mereka, lagian di sekolah tidak semua orang harus ditemani. Mereka lebih kepada jantan masing-masing. Kalau aku beda, perempuan tangguh dan tak kenal apa itu cinta." Selepas memungkas, kami bertemu di sebuah dapur.
"Kau bisa berkata seperti itu karena belum kena batunya. Nanti jika ada laki-laki yang kau suka, pasti hidupnya sudah tidak sama lagi seperti sekarang ini," ujarku memberikan pandangan.
"Ah, sudahlah, aku pusing mikirin cinta. Lagian ... untuk saat ini tujuan kita cuma sekolah, enggak perasaan aja yang beradu domba. Emang kamu, Bang, tiap hari galau terus!" hardiknya ngegas.
Siti pun memutar haluan dan bergerak menuju kamar mandi, sedangkan aku hanya mendudukan badan di atas kursi seraya menabur jagung giling untuk pakan ayam peliharaan. Udara di belakang rumah lebih sejuk, daripada di depan. Kami pun sering berkumpul di belakang dengan alasan demikin.
Sejak beberapa menit aku mendudukan badan, tak terlihat di mana emak berada. Wanita paruh baya itu seakan hilang dari kegiatan setiap harinya, bersama dengan kompor dan penggorengan. Kalau pun dia pergi, sudah pasti mengantar tapai dan beberapa kue basah.
Seraya bercengkerama dengan ayam, aku pun menatap mantap ke arah pepohonan di sepanjang rumah tidak terpakai itu. Rumah tersebut sangat angker, suara burung hantu juga sering terdengar setiap malam. Bahkan burung kedasik, dia berkoar dan seperti tengah menunjukan sesuatu perihal sebuah kejadian aneh.
Hewan bersayap serba hitam, dengan badan semampai dan lincah dalam menerbangkan badan, dapat mendetekasi bau bangkai manusia dan memberikan sebuah pemberitahuan akan ada yang meninggal dunia. Entah itu mitos atau nyata, karena telah lama terbukti dan orang-orang seakan mengiyakan ucapan itu.
Sejujurnya aku takut kalau burung itu sudah bersuara, sangat membuat bulu kuduk meremang dan seperti ingin mengajak ke sebuah peristiwa aneh. Kematian memang di tangan Allah SWT. Namun, burung itu menjadi satu alasan kenapa dia selalu bersuara tanpa henti.
"Bang, kau ngapain di sini lama-lama?" tanya Siti, dia menyentuh pundakku seraya menatap ke ambang pintu.
"Apakah kau mendengar suara itu? Aku dari tadi merinding kalau dengarnya berkoar," jawabku sekenanya, lalu kuputar tatapan menuju sang adik.
Siti menagngguk dua kali, lalu dia berkata, "jauhkanlah ... jauhkanlah ... jauhkanlah."
Karena penasaran akan hal itu, aku kembali menolehnya. Secara saksama, netra ini pun terpaku pada mulut sang adik yang tengah komat-kamit mengatakan hal sama.
"Kenapa kau bicara seperti itu, Dek? Bukannya ... kita enggak boleh menyambutnya?" tanyaku penasaran, kali ini bertubi-tubi.
"Bang, kalau ada burung kedasik, kita harus mengucapkan 'Jauhkanlah' agar terjauh dari marabahaya. Lagian ... itu adalah kata-kata yang teman aku bilang di sekolah," titahnya seakan memberikan pelajaran baru.
"Ah, masak, sih. Aku enggak begitu yakin, karena tidak ada dalam alquran."
"Ya, sudah, kalau kau enggak percaya. Entar kalau emak pulang, coba kau tanya sendiri. Karena yang menjadi fakta, Wak Mirna di depan rumah kita meninggal karena apa? Burung itu sudah berbunyi dari samping Bu Munah."
Sejenak aku terbungkam, pikiran pun berkata dan berdialog menafsirkan ucapan barusan. Sang adik ada benarnya, kalau kematian Bu Mirna adalah sejak hadirnya suara burung kedasik itu beberapa hari belakangan hari. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah—kenapa hewan tersebut tidak berbunyi di sekitar rumah calon mayatnya.
"Dek, kau mau pergi ke mana? Emak enggak ada di rumah, apakah kau akan meninggalkan aku sendiri?" tanyaku bertubi-tubi.
"Ya, elah ... ini masih siang, masak kau takut ada hantu di rumah!" pekiknya sembari menelan ludah.
Melihat gelagat sang adik, bulu kudukku meremang dan tak mau turun lagi. Sejak pembahasan perihal kematian, membuat diri ini enggan untuk berlama-lama mendudukan badan di atas kursi plastik.
Tidak berapa lama, aku berjalan menuju rumah dan mengikuti sang adik dari belakang. Ketika Siti memasuki kamar, aku menunggu di ambang pintu. Kemudian dia menuju ruang tamu dan mengambil sepatu, aku juga ikut sembari pura-pura main ponsel.
Tidak berapa lama, sepertinya Siti paham dengan gerak-gerikku. Kemudian dia berhenti ketika aku berjalan dari belakang.
Brug!
"Ih, Siti! Kau ngapain berhenti tiba-tiba?" tanyaku.
"Hayo ... kau ngapain ngikuti aku? Pasti takut, kan, kalau aku tinggal sendirian?" Siti berkata sekenanya.
"Siapa juga yang takut, suuzon. Aku itu lagi mencari sinyal, jangan ngada-ngada jadi orang." Setelah berkata, Siti memutar badan lagi dan bergerak menuju ruang tamu.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.